Jumat, 29 Agustus 2014

Sejuta Rasa jadi Calon Bunda (1)

Menjadi seorang ibu adalah cita-citaku yang lama sudah aku impikan, bahkan cita-cita ini mendahului cita-citaku menjadi seorang istri. Padahal, tak mungkin kan ya, aku melahirkan sebelum menikah terlebih dahulu. Yah, mungkin ini karena naluri kewanitaanku untuk menjadi seorang ibu terlalu tinggi.

Menjelang menikah, aku mempersiapkan diri untuk hal ini, kebetulan tanggal menikahku itu saat masa subur berdasarkan kalender bulananku. Jadi dengan semangat menggebu aku sudah mengkonsumsi susu khusus untuk persiapan hamil. Waktu itu aku bilang ke (calon) suami, tentang keinginanku untuk segera punya momongan. Gayung pun bersambut, ternyata (calon) suamiku juga pengen segera punya momongan, alhamdulillah kami satu visi.

Ah, tapi ternyata kami harus bersabar, 2 minggu kemudian tamu bulananku datang lagi. Bulan berikutnya ternyata juga. Bulan berikutnya lagi, tamu bulananku datang terlambat, aku sudah sangat berharap, bahkan aku sudah melakukan testpack, hasilnya negatif, dan ini cukup membuatku trauma. Bulan depannya lagi tamuku terlambat lagi, tapi aku enggan untuk melakukan testpack, mau menunggu lebih lama lagi saja, aku sangat takut kecewa. Apalagi melihat kecewanya suami, aku nggak tega.


Benar saja, saat terlambat masuk hari ke-5, paginya aku merasa tamuku sudah datang lagi. Aku sudah pasrah. Aku nggak mau berharap. Aku takut kecewa. Aku pun segera memberitahu suami, tamu bulananku datang lagi, aku memintanya bersabar. Sorenya aku merasa bingung, tamu bulananku kali ini agak berbeda, tak seperti biasanya. Darah yang keluar cuma sedikit, bisa dibilang hanya flek saja. Malamnya, malah sama sekali nggak keluar. Ada apa dengan aku? Mungkinkah aku hamil? Esok harinya, sepulang kerja aku beli testpack. Saat mandi sore aku memberanikan diri untuk testpack, apa pun hasilnya aku siap. Dan..masyaAllah testpack-ku hasilnya positif. Rasanya aku ingin menangis. Aku hamil ya Allah. Seusai mandi, aku segera ke kamar ingin memberitahu suami, tapi aku ingin sedikit memberi dia kejutan. Tanpa berkata-kata aku memperlihatkan hasil testpack-ku ke suami, dia memeriksanya dan spontan bertanya, “Kamu hamil?”. Aku pun tersenyum sambil mengangguk. MasyaAllah, suami langsung memelukku erat, setelah itu dia berlari ke dapur memberitahu ibu mertua. Aku hanya tersenyum saja mendengar kebahagiaan mereka, Alhamdulillah, setelah 3 bulan menikah akhirnya kami diberikan karunia ini.

Kamis, 21 Agustus 2014

caraku mencintai suami (2)

Sudah lama aku nggak nulis di blog ini, setelah menikah aku sadar aku sangat jarang menggunakan sosmed kecuali bbm. Syndrome orang abis nikah kali ya, hhehe.

Kali ini aku sedang berusaha membuang rasa malas, aku ingin menulis, dan aku ingin sekali menulis tentang suamiku, yah..meski ini tulisan mungkin sangat nggak bermutu, tapi sungguh aku ingin sekali menulis. Alhamdulillah, rasa syukur kupanjatkan padaMu ya Robb yang telah menghadirkan seorang suami yang begitu menyayangiku dan selalu bersabar menerima segala kekuranganku. Jaga dia ya Robb, ampuni dosa-dosanya dan perbaiki kekurangan-kekurangnnya serta dekaplah selalu dia dalam hidayahMu, jadikan dia imam yang baik untukku agar kami bisa saling menuntun menuju syurga-Mu. Aamiin

Sungguh, aku tak akan mengkufuri nikmat Allah berupa suami yang begitu romantis dan perhatian kepadaku, dan semoga sampai kapan pun aku tak akan pernah mengkufuri nikmat ini.

Aku nggak berniat memamerkan manisnya suami kepada dunia dan membuat panas bagi yang belum menikah. Sama hal-nya dengan suamiku yang selalu bilang: “aku sangat bersyukur mendapatkan istri seperti kamu.”, aku pun sangat bersyukur mendapat suami sepertinya, jadi aku merasa perlu menuliskan dan menunjukkan pada dunia tentang kebaikan suamiku pada dunia J

Sikap romantis yang pertama dan akan selalu membekas di hatiku adalah ketika (calon) suamiku mengenalkan dirinya pada keluarga saat pertama kali kami bertemu dan dengan beraninya dia langsung meminta pada kedua orang tuaku, menyampaikan tujuannya: ingin mengenalku dan jika aku berkenan ingin melanjutkan ke jenjang yang lebih serius. Ah..sungguh, jujur, mendengarnya aku langsung luluh. Caranya meminta pada orang tuaku, sangat santun dan tak berbelit-belit. Sebelumnya aku pernah berta’aruf dengan seorang pria, tapi caranya berbeda, kurang gentleman aku bilang. Apalagi kalo dibandingkan dengan beberapa lelaki yang juga pernah berniat meminangku, mereka terkesan memaksaku, tak memberi aku pilihan.

Hal romantis kedua yang aku terima dari (calon) suamiku adalah ketika aku diajak ke rumahnya untuk dikenalkan dengan orang tua, adek dan neneknya. Rasanya luar biasa saat dia kembali datang ke rumah, lalu meminta izin pada ayahku: saya mau meminjam putri bapak untuk dikenalkan dengan orang rumah. Mendengar setiap kata yang terucap olehnya, membuatku yakin untuk menerimanya.

Hal romantis ketiga yang (calon) suamiku lakukan sebelum kami menikah adalah dia membawaku ke rumah temannya yang berprofesi sebagai penjahit. Awalnya aku benar-benar tak mengerti dengan jalan pikirannya, untuk apa aku diajak ke penjahit. Ternyata dia ingin mempersiapkan gaun untuk akad nikah kami. What??? Aku hampir tak percaya, dia berpikir sejauh itu, aku tak pernah memintanya, berpikir saja aku tak pernah. Aku tak pernah merencanakan membuat baju untuk pernikahanku.

Sikap-sikap romantis berikutnya tentu saja proses-proses menuju pernikahan kami: saat proses khitbah resmi, mendaftar di KUA dan tentu saja saat prosesi akad. MasyaAllah, begitu banyak hal yang uda suamiku lakukan dan perjuangkan demi lancarnya proses menuju pernikahan kami. Semua urusan administrasi untuk pendaftaran di KUA yang ngurus (calon) suami. Bahkan pasfotoku untuk syarat administrasi saja, (calon) suamiku yang nyetakin, hhehehe..manja sekali ya aku.

Itu hal-hal romantis yang pernah suamiku lakukan sebelum kami menikah. Setelah menikah? Ah, tentu saja lebih banyak, dari hal-hal kecil seperti memanaskan air untuk mandiku, mengecup keningku setiap malam sebelum dia tidur, dan lain sebagainya, bahkan ada hal yang mampu membuatku menitikkan air mata: suamiku rela tidak tidur malam saat aku opname, demi memastikan cairan infusku yang hampir habis,  dan masih banyak hal romantis yang dia lakukan tapi nggak bisa aku ceritakan pada dunia karena bisa jadi dosa, hehhe.

Yah, pada akhirnya, hanya ada satu ayat yang kini terngiang: “Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?

Teruntuk suamiku, bapak dari (calon) anakku, I LOVE YOU MORE THAN I CAN SAY

ini suami menuhin janji ngajak ke telaga warna dieng