Sabtu, 30 November 2013

bank konvensional Vs bank syariah versi aku

Ceritanya hari Jumat pekan ini, di kantor aku dimintain tolong untuk bantu bagian keuangan untuk ngatasin masalah VPN yang enggak bisa digunain. Setelah username ama password diisi aplikasi menghilang begitu saja. Lalu seharian kami bertiga, aku dan 2 staf keuangan sibuk berjibaku dengan laptop dan jaringan wifi, kami hampir putus asa untuk bersabar lalu memutuskan bertanya pada ahlinya, telpon ke CS bank pun jadi pilihan. Solusi demi solusi yang disarankan CS pun kami lakukan, dari utak-atik pemrograman, beli modem sampai install ulang aplikasi VPN, ternyata hasilnya nihil. Finally, kinerja kami pun terganggu karena bagian keuangan jadi nggak bisa membayar invoice2 dari supplier, transaksi ga mungkin dilakukan via ATM atau secara manual transfer di bank karena nilai transaki sangat besar. Ah, sungguh menyebalkan rasanya ;( 

Well, dari kejadian VPN ini, memory-ku teringat pada permasalahan bank konvensional Vs bank syariah, terutama pada masalah seringnya muncul pertanyaan "Mengapa justru banyak 'hujatan' yang ditujukan pada bank syariah daripada bank konvensional dari orang/kelompok yang mengaku mau menghindari riba?".
Dan mungkin, dan aku akui, aku bisa termasuk dari orang-orang yang demikian. Dan bahkan, mungkin orang akan balik memojokkan aku jika membuka dompetku, ATMku dari bank konvensional.
Mau menilai aku orang yang 'menyerang' bank syariah karena aku nasabah bank konvensional??? Jangan terburu-burulah :) 

Sejak aku lahir sampai detik ini, aku hanya memiliki 2 rekening. Pertama rekening di BNI Syariah, rekening yang otomatis terbuat karena aku membuat KTM saat kuliah, dan kebetulan kampusku bekerja sama dengan bank itu. Aku menggunakan rekening itu sampai aku lulus, biasalah anak rantau. Aku butuh rekening untuk menerima kiriman uang dari keluarga sebagai biaya hidup. Dan setelah aku lulus, rekening itu otomatis tidak aku gunakan lagi. Yang kedua, aku memiliki rekening BRI (konvensional), yang ini aku dapatkan dari kantor tempat aku bekerja untuk menerima gaji bulanan. Sampai detik ini aku masi menggunakannya, dan selain ATM aku menggunakan layanan SMS Banking. Aku bisa melakukan transaksi dengan HP-ku tanpa bersusah payah ke bank atau ATM. Tiap bulannya aku melakukan transaksi via SMS Banking ini, dari beli pulsa, transfer untuk belanja online sampai berinfaq pun aku pake layanan SMS Banking. 

Bagi yang bertanya-tanya, mengapa aku tampak tenang menggunakan jasa bank konvensional yang jelas-jelas berbunga haram dan bahkan banyak menggunakan jasa untuk transaksinya?
Yang pertama, aku tekankan bahwa bukan aku yang memilih bank tersebut, sejak sebelum aku masuk di kantor itu, perusahaan memang sudah punya sistem sendiri untuk menggaji karyawannya, jadi jelas bukan wewenang aku untuk masalah ini. Namun, jika aku diberi wewenang dalam hal ini dan keadaan memungkinkan, aku akan memilih bank syariah untuk diajak kerjasama. 

Lalu mengapa justru aku menikmati layanan-layanan dari bank konvensional tersebut? 
Perlu banget ini dicatat, bahwasanya tidak semua layanan jasa/produk dari bank (baik konvensional maupun syariah) itu mengandung riba. 

Ketika bank menjadi perantara antara perusahaan dan karyawan sebagai pembagi gaji, transaksi yang dilakukan ini transaksi halal. Di sini bank membantu perusahaan untuk memasukkan gaji karyawan ke rekeningnya masing-masing, dan uang yang dibayar oleh perusahaan adalah sebagai upah atas jasa tersebut. Jasa dari bank ini sangat membantu perusahaan, karena akan sangat repot sekali menggaji ratusan orang dengan uang cash. Dan untuk transaksi transfer belanja online dan berinfaq, jenis transaksinya hampir sama dengan trasfer gaji perusahaan ke karyawan. Bank menjadi penyedia jasa untuk menyampaikan pembayaranku. Sedangkan untuk transaksi beli pulsa, ini jelas transaksi jual beli layaknya aku beli pulsa di counter, ini halal. 

Lalu mengapa aku nggak buat rekening di bank syariah saja? Karena dengan adanya uang gaji yang masih tersimpan di bank konvensional akan digunakan oleh bank untuk kegiatan yang mengandung riba, jadi tiap terima gaji aku langsung transfer ke bank syariah.

Jujur aku jawab jika ada yang bertanya demikian, alasannya simpel, pengalihan gaji demikian akan sangat merepotkan aku. Perlu diketahui aku tinggal di kota kecil, di mana bank syariah masih sangat jarang, banknya saja jarang apalagi ATMnya, berbeda sekali dengan bank konvensional yang aku pakai, ada di setiap kecamatan, jadi ini akan sangat merepotkan aku saat aku butuh uang cash.

Iya, aku menilai bank syariah masih mengandung riba dalam transaksi peminjaman dana pada nasabah, dan ini jauh lebih parah dibanding bank konvensional karena dengan label syariah bisa menipu umat. Namun, aku tetap meng-apresiasi munculnya bank syariah. Dan overall bank syariah lebih baik dari bank konvensional, aku pun secara pribadi akan memilih untuk menggunakan jasa bank syariah, dengan catatan bank syariah mudah dijangkau dan fasilitasnya lengkap atau paling tidak sama dengan bank konvensional.


So, don’t judge everyone else by your own limited experience J




Selasa, 26 November 2013

Hijab Modis di Mataku

Rasanya aku tertarik membahas hijab gaul kembali.
Aku teringat perkataan beberapa teman yang meng-amini, atau mendukung para founder hijab modis seperti Dian Pelangi dan komunitas hijaber, di mana mereka mempunyai pemahaman ingin mengajak para muslimah untuk berhijab dan dengan motif yang dinilai suci inilah mereka membuat dan mengenalkan hijab dengan segala modifikasi-nya. Dulu ketika mendapat pernyataan tersebut dari teman, aku biasanya langsung terdiam. Diamku bukan karena aku ikut meng-amini apa yang mereka amini. Hati aku tetap menolak. Meski memang kenyataannya di dunia nyata, bener2 riil, begitu banyak muslimah mulai berhijab dengan model hijab gaulnya. Sekali lagi, hati aku menolak bahwa itu benar.

Dulu aku belum bisa menemukan argumen yang tepat untuk menyanggahnya secara baik dan bisa diterima, kalo aku langsung mengatakan bahwa hijab modis tidak sesuai syariat, aku takut aku terlalu cepat mem-vonis, siapa aku yang berani memberikan vonis tentang syari’at, berapa hadits yang aku baca, ah..rasanya sangat tak pantas, ilmuku masih terlalu sedikit. Dan aku menyadari, bahwasanya segala sesuatu memang ada prosesnya, termasuk masalah hijab, aku tak bisa men-generalisasikan keadaan setiap muslimah, bisa jadi karena lingkungannya, seorang muslimah belum bisa berpakaian yang benar-benar menutup aurat. Aku sendiri pun masih jauh dari sempurna dalam berhijab.

Akan tetapi, setelah membaca argumen dari seseorang yang bukan muslim tentang hijab modis (baca artikel tulisan orang kristen) rasanya teramat malu. Bagaimana aku yang seorang muslimah justru hampir kalah dengan pemahaman2 yang jelas2 keliru tentang hijab.
Kita amati saja, setiap founder (atau siapa pun yang mengkampanyekan) hijab modis, mereka kebanyakan memiliki bisnis fashion.
Apa ujungnya? BISNIS, UANG !!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

Lalu jujur juga lah para pemakai hijab modis, apa yang ada di otak saat mengenakan hijab modisnya? Pengen tampak cantik kan?????????? Ini memamerkan aurat/kekayaan wanita !!!!!!!!!!

Ah, sudahlah, aku tak ingin menambah analisa2ku, aku merasa terlalu banyak su’udzon dalam otak ku saat ini. Yang pasti, sungguh aku ingin sekali berhijab sesuai syariat, dan muslimah2 yang lain pun demikian, agar kita sama2 dijauhkan dari murka Allah..

*ini kutipan yang mungkin harus dikabarkan kepada setiap muslimah:

Perempuan Muslim lama-lama pake hijab bukan sebagai tanda patuh terhadap perintah agama, tapi cuma karena hijab lagi ngetren. Nanti kalo suatu saat tren hijab ilang, lalu mau diapain dong cewek-cewek Muslim yang pake hijab cuma buat aksesoris doang? Masa disuruh lepas hijabnya?

Rabu, 20 November 2013

uang receh di mataku

Salah satu kekuranganku dari sekian banyak kekurangan yang ada dalam diri aku adalah aku kurang menghargai uang recehan, terutama uang logam. Hal ini akan tampak sekali saat aku berbelanja di minimarket atau swalayan, ketika aku menerima kembalian berupa recehan, biasanya aku akan memasukkannya begitu saja ke dalam kresek belanjaan, bercampur baur dengan barang belanjaan. Dan bagaimana nasib uang kembalian itu? Biasanya aku terlupa, akan tetap ada di kresek atau aku jadikan satu dengan recehan yang lain, dan jika sewaktu-waktu ada yang butuh uang recehan, tinggal aku kasiin, tapi yang jelas aku nggak akan menggunakannya untuk dimasukkan dalam kotak infaq. :)

Akan tetapi, belum lama ini aku merasa tertampar. Suatu hari aku pergi ke suatu tujuan dengan kendaraan umum. Aku naek bus yang cukup penuh penumpang, penumpangnya aku lihat kebanyakan berprofesi sebagai pedagang di pasar tradisional, ibu-ibu sepertinya seumuran dengan ibu aku.

Yang cukup menarik buat aku dari perjalanan dengan bus ini, adalah ketika si kondektur memberi uang kembalian dengan jumlah yang kurang. Lalu salah satu ibu itu protes, minta ditambahin uang kembaliannya. Kalo aku ada di posisi ibu tadi, jelas aku lebih memilih diam, toh kembaliannya hanya kurang 500 rupiah saja. Rasanya tenagaku terlalu mahal untuk bicara demi uang 500rupiah.

MasyaAllah, ternyata tak hanya sekali itu saja aku melihat pemandangan demikian. Bahkan pernah ada yang dibela-belain sampai berdebat demi mendapat kembalian recehan yang menurutku hampir tak ada nilainya.

Menurutku debat yang dilakukan sungguh sia-sia, nilai yang diperjuangkan teramat kecil. Yah, ini pikiran aku sebagai anak ekonomi. Tapi, sepertinya memang ada yang salah dengan mindset-ku.

Aku coba merenungi lebih dalam cara pandang para pelaku debat. Aku ambil salah satu sebagai sampel, ibu yang berprofesi sebagai penjual di pasar. Misalkan saja ibu itu adalah penjual sayuran, 500rupiah bisa saja adalah margin yang ia peroleh dari harga pokok penjualan 1kg kentang yang ia jual. Di mana dalam penjualan ini prosesnya sangatlah tidak sederhana, si ibu dari pagi menunggu ada calon pembeli yang berminat untuk membeli, lalu mungkin harus melalui proses tawar-menawar. Ah..jadi sangat pantas kalo si ibu itu rela mengeluarkan tenanganya untuk mendapatkan hak 500rupiah-nya.

OK, aku sepertinya kadang terlalu men-general-kan keadaan, jadi aku sering kurang mampu memahami suatu keadaan.
Pelajaran terpenting: HARGAI UANG RECEHAN :)

Senin, 11 November 2013

jika kamu menjadi suamiku

Jauh-jauh hari, sebelum kita dipertemukan dalam ikatan suci bernama pernikahan, aku berperan sebagai istri dan kamu berperan sebagai suami, aku akan memberitahumu beberapa hal yang harus kamu persiapkan untuk menerima diri ini.
Kamu harus rela meluangkan waktu mu untuk mendengar setiap ceritaku, kadang tak penting memang, tapi kamu harus tau, aku selalu merasa butuh seseorang untuk menjadi diary-ku, ceritaku bisa saja tentang aku, perasaanku, kejadian di sekitarku, apa pun lah yang ada dalam pikiranku.

Kamu juga harus rela dengan gangguan-gangguan yang mungkin akan sering aku berikan jika kamu sedang tak ada di sampingku, aku akan sering-sering mengirim pesan, sekedar bertanya kamu sedang apa atau mengingatkanmu satu-dua hal, atau bahkan hanya sekedar berkirim kata-kata untuk menyampaikan ungkapan rinduku.

Kamu perlu bersiap setiap bulannya untuk ekstra bersabar, karena tamu bulananku sangat mempengaruhi emosi dan ragaku. Pada fase itu, emosiku teramat labil dan menjadi teramat sensitif, ditambah perutku tersiksa. Bisa saja aku marah-marah tanpa arah, di saat itu, tolong tenangkan aku. Beri aku segelas wedang jahe atau susu hangat, tentu aku akan merasa lebih baik.

Kamu juga perlu bersiap untuk tidak makan kangkung hasil masakanku. Kamu tau, aku tak suka kangkung. Namun, jika kamu meminta aku untuk memasaknya, aku akan tetap berusaha memasakannya untuk mu, tapi maafkan aku jika mungkin rasanya tak istimewa, tak sesuai harapanmu.

Kamu harus tau, aku sangat pencemburu. Aku tak akan pernah rela melihat kamu dengan wanita lain, jadi tolong jangan terlalu banyak berinteraksi dengan wanita lain sekali pun itu teman atau parner kerjamu. Dan aku pastikan, aku pun akan berusaha tak akan dekat-dekat dengan pria selain kamu. Hanya kamu yang akan selalu mendengar ceritaku.


Ini sebagian kekuranganku yang perlu kamu persiapkan untuk menerimaku. Tapi pasti, meski banyak kekurangan, aku akan berusaha untuk menjadi istri yang baik teruntuk mu. J