Selasa, 30 April 2013

Sore ini dengan perasaan ini

Hari ini, jika kamu melihatku di sini. Mungkin kamu akan tersenyum penuh kemenangan dan tinggi hati. Lagi-lagi aku kalah di sini. Aku kalah dengan perasaan yang tak pernah mau berada dalam kubu untuk membela hati ini. Perasaan ini kembali mengkhianati. 


Kau tau?
Sore ini, saat sang mentari bersiap memberikan senyum selamat berpisah dengan hari ini, dan warna kuning senja telah merayapi langit yang tinggi. Di mana biasanya aku akan tersenyum demi menggenapi rasa bahagia dalam hati, demi bertemu orang terkasih kembali.


Tidak.
Sungguh, tidak untuk sore ini.
Tak berbeda dengan langit sore ini, yang telah dengan poraknya menghujamkan jutaan butiran air pada bumi ini, tanpa kata tanpa permisi.
Aku kembali menangisi. Perasaan yang tak pernah kusepakati, lagi-lagi tak mau diajak kompromi. Rasanya aku ingin melenyapkan diri. Bahkan aku rela berjalan sambil memejamkan mata di bawah guyuran hujan ini, berharap hujan mampu membawa pergi perasaan ini. Tapi, ternyata hujan tak juga mau menyanggupi.



Ah, mengapa harus (pernah) ada nama mu di hati ini?

Selasa Sore di bawah rinai hujan kotaku

Senin, 29 April 2013

rasaku dan caraku


Benar aku menyukaimu. Benar aku menginginkanmu. Dan benar, benar untuk semua dugaan mu selama ini aku memendam rasa untuk mu. Bukan karena aku pengecut saat aku tak menyampaikan rasaku (langsung) pada mu. Bukan karena aku ingin menjadi pecundang saat aku memilih diam mengamati mu dari kejauhan. Bukan karena aku tak mau untuk sekedar memberikan perhatian kepada mu. Juga bukan karena aku tak sanggup saat aku tak ikut melakukan apa yang kamu lakukan, dan aku juga tak mau ikut menyukai apa yang kamu suka.

Untuk apa aku menampakkannya? Dan untuk apa aku melakukannya?
Hanya untuk meyakinkanmu bahwa aku memiliki rasa itu? Dan hanya sekedar membuat bayangan palsu saat aku ikut menyukai apa yang kamu suka? Atau hanya untuk memberikan berita kepada semesta bahwa aku menyukaimu? Lalu semua akan melihatku, menatapku, membicarakanku, bahkan mungkin menertawakan dan mencibirku, menunggu saat-saat aku akan kalah, menunggu saat aku akan patah.

Tidak.
Aku tak akan membiarkan semesta melihat ke arahku dengan tatapan simpati atau belas kasihan karena aku terluka, patah. Aku tak mau .
Tapi, bukan karena aku tak mau patah dan kalah berarti rasaku tak ada.
Rasaku untukmu tetap ada dan nyata. Aku memiliki cara sendiri untuk semua rasaku ini. Dan (mungkin) hanya akan menjadi nyata untukmu, saat aku (telah) kamu miliki.

Jumat, 26 April 2013

Berita hari ini

Hari ini, Jumat 26 April 2013, semenjak bangun tidur, otakku dipenuhi dengan kabar meninggalnya salah satu ustadz (yang juga artis) di negeri ini. Ustadz Jefri Al-Bukhori, atau yang biasa disapa dengan Uje. Aku belum pernah bertemu dengannya secara langsung, hanya melihatnya dari layar televisi atau dari internet. Beberapa waktu setelah aku lulus dari kampus, ada acara pengajian dengan beliau sebagai pembicaranya, tapi jelas aku tak bisa ikut hadir, aku sudah kembali ke kota asalku.

Berita kematian Uje cukup menggemparkan negeri ini. Apa pun kekurangannya, lupakan. Yang perlu diingat, masyarakat negeri ini, mayoritas sepakat, beliau adalah seorang ustadz muda yang cukup baik.  Perjalanan hidupnya cukup menginspirasi banyak orang, karena dulu (katanya) beliau pernah terperosok dalam dunia kelamnya artis (narkoba dan sebagainya) lalu bertobat dan menjadi dai. Subhanalloh. Negeri ini berkabung nasional. Tampak dari penuhnya berita tentang kematian beliau yang benar-benar memenuhi media, baik televisi, koran dan social media. Banyak yang tak percaya Uje meninggal secepat itu. Kematian memang rahasia Allah yang pasti terjadi.

Dan yang sangat mengagumkan, begitu banyak jama’ah yang ikut men-shalatkan jenazah Uje.

Jenazah Uje menuju Masjid Istiqlal untuk dishalatkan
Tentu pemandangan ini sangat menarik, Uje dishalatkan di Masjid Istiqlal, Masjid resmi milik negara yang biasanya digunakan untuk acara ibadah kenegaraan (jama'ah para pejabat pemerintah) dan sangat jarang (bahkan mungkin tak pernah) digunakan untuk menyalati jenazah, dengan ratusan bahkan mungkin ribuan jama’ah. Subhanalloh.

Dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma bahwa anaknya telah meninggal di kawasan Qudaid atau ‘Asfan. Maka ia pun berkata, “Wahai Kuraib (budak beliau), lihatlah berapa orang yang telah berkumpul untuk menyalatkannya.” Kuraib berkata, “Maka aku pun keluar, ternyata orang-orang telah berkumpul untuknya. Lalu aku memberitahukannya kepada Ibnu Abbas.” Dia bertanya, “Apakah jumlah mereka telah mencapai empat puluh orang?” Kuraib menjawab, “Ya.” Kemudian Ibnu Abbas berkata, “Keluarkanlah mayatnya, karena aku telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَا مِنْ رَجُلٍ مُسْلِمٍ يَمُوتُ فَيَقُومُ عَلَى جَنَازَتِهِ أَرْبَعُونَ رَجُلًا لَا يُشْرِكُونَ بِاللَّهِ شَيْئًا إِلَّا شَفَّعَهُمْ اللَّهُ فِيهِ

‘Tidaklah seorang muslim meninggal dunia, dan dishalatkan oleh empat puluh orang, yang mana mereka semua ini tidak menyekutukan Allah, niscaya Allah akan memberikan syafaat mereka kepadnya.” [HR. Muslim no. 948]

Dari Aisyah radhiallahu anha dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau bersabda:

مَا مِنْ مَيِّتٍ تُصَلِّي عَلَيْهِ أُمَّةٌ مِنْ الْمُسْلِمِينَ يَبْلُغُونَ مِائَةً كُلُّهُمْ يَشْفَعُونَ لَهُ إِلَّا شُفِّعُوا فِيهِ

“Tidak ada satupun mayat yang dishalatkan oleh kaum muslimin dengan jumlah mencapai seratus orang, dan semuanya mendo’akannya, kecuali do’a mereka untuknya akan dikabulkan.” [HR. Muslim no. 947]
#via Status Nasehat (fanpage di Facebook)

Melihat keadaan Uje dan membaca hadist di atas.
Termenung dan terhenyak, bagaimana keadaan diri ini saat giliran ajal menghampiriku? Akankah banyak orang yang mau men-shalatkan jenazahku?

Astaghfirullah

Kamis, 25 April 2013

When Aprroached #9


To: anin.dieta@live.com
Subjet:

W.O.W
Yang pertama, aku mau bilang: KAMU GILA’ ANIN !!!!
Ngapain kamu mbahas temen Ardhian segala???
Kamu lagi PMS atau apa c???
Lupakan cerita itu! Delete atau skip saja lah masa itu.
Alhamdulillah, tak bertahan lama kegilaanku waktu itu, dan dengan yakin aku umumin: BELUM. Dia belum merebut hati aku.
Cukup! Titik.

Dan cukupkan dulu bahas Ardhian-nya. Mulai detik ini, aku pun berusaha belajar melepas apa yang memang belum aku miliki. Jujur, aku takut patah hati. Dan aku yakin kamu tau, aku butuh waktu lama untuk bangkit dari patah hati. Jadi tolong, bantu aku.
OK?

Mari kita fokus sejenak pada perjodohanmu.
2hari ini aku uda stalking ke akun2nya.
Sebelum aku menjawab pertanyaanmu, jawab dulu pertanyaanku.
1.   Sekarang kamu uda ketemu dengan dia kah?
2.  Jujur, tanggapan mu bagaimana tentang dia?


Baca:

Rabu, 24 April 2013

aku dan kamu, chatting 1 (ADK part 4)


Mulai hari ini, kamu mengajak berkomunikasi via chatting, biar tak bosan kata mu. Padahal bagiku, berkomunikasi dengan mu via media apa pun sama saja, tak akan pernah ada bosan menyapa. Tapi, aku hanya mengangguk memberi tanda setuju dengan usulanmu.  Kamu bilang sedang bosan dengan sms.

Tepat pukul 9 malam aku sudah duduk manis di depan layar laptop.Kita meyepakati komunikasi ini 2 hari yang lalu, saat kamu datang ke kotaku. Kemaren setelah aku mentraktir makan makanan khas kotaku, kamu berpamitan pulang, kembali ke kota rantaumu. Kota di mana Sang Pemilik hati mempertemukan kita. Dan kamu sengaja memberi 1 hari jeda untuk kita tak berkomunikasi, katamu biar ada bahan cerita lebih banyak, lagi-lagi aku pasrah menyetujui usulmu.

Yah, dan ternyata kamu pun on time, tepat pukul 9 kamu menyapaku telebih dahulu.

Kamu:  hay..
Aku: assalamu’alaikum J
Kamu: wa’alaikumsalam, apakabar? Sehat?
Aku: alhamdulillah, apakabar kota kita ya?
Kamu: Banjir parah
Aku: owh, uda biasa kan? Tapi justru itu yang membuatku rindu..
Kamu: rindu banjir???
Aku: bukan
Kamu: lah, apa? Katanya rindu?
Aku: kamu
Kamu: aku enggak tuh, Hahhahha :p
Aku:
(Enter saja tanpa mengetik apa pun)
Kamu: yaaaaaaaaaaah, ngambek anak orangnya,
Aku:
(Enter tanpa mengetik apa pun)
Kamu: Eh, tadi aku maen ke Gramed, nemu buku masak bagus, kamu harus punya ini, biar besok jago masaknya, J
Aku: Masak buat siapa?
Kamu: Buat suami mu lah
Aku: Owh
Kamu: Kok owh doang?
Aku: Terus aku harus jawab apa?
Kamu: Kamu kenapa? marah? Atau sakit?
Aku: Aku sehat, nggak marah, aku nggak papa kok, emang kenapa?
Kamu: Gpp seh, agak beda aja
Aku: aku baik-baik aja,
Kamu: Atau kamu capek kah? Tadi di kantor gimana?
Aku: iya mungkin, baik, kaya’ biasanyalah di kantor begitu-begitu saja. Nggak perlu khawatirin aku, aku baik-baik aja kok. Mmm..yaudah, biar kamu yakin aku baik-baik aja, aku cerita deh
Kamu: nah, gitu dong! Silakan cerita, calon ibunya anak-anak ;)
Aku: ok, bentar, aku calon ibu anaknya siapa???
Kamu: mana ceritanya? Ibu dari anakmu lah. Cita-cita kamu jadi ibu kan? ;)
Aku: owh, begini ceritaku. Tadi ada temen yang curhat ke aku, dia ngeluhin sikap suaminya yang kalo diajak ngomong tu bikin sakit hati, nyesek gitu. terus aku sok-sokan nasehatin, kamu sebagai istri mesti sabar, mesti banyak ngalah. Aku sebenarnya agak heran lho kalo dapet curhatan beginian, aku kan belum nikah ya? Tapi kok temen-temen aku curhatnya ke aku, jadi bingung.
Kamu: itu artinya temen kamu percaya ama kamu. Kalo kamu ada di posisi temen kamu, apa yang bakal kamu lakuin ke suami kamu?
Aku: belum tau
Kamu: ?
Aku: iya, soalnya aku kan belum tau suamiku kaya’ apa. Sifatnya seperti apa. Jadi aku belum tau bakal ngelakuin apa buat ngatasinnya. Yang pasti aku akan beruasaha sabar dengan nggak membalas ngomong dengan cara yang sekiranya membuatnya tersinggung. Nah, kalo kamu semisal istri kamu ngambek kamu bakal ngapain?
Kamu: ngambeknya kenapa dulu
Aku: karena istrimu merasa kamu cuekin atau cemburu mungkin
Kamu: aku cium keningnya, peluk tubuhnya terus...
Aku: terus apa?
Kamu: terus aku suapin dia makan telur deh, wkkkwkkwkkk
Aku: lhoh???? -_-
Kamu: yaudah, ganti kangkung, wkkkkwkwkkwk
Aku: hmmmmmmmmmmmmmmmm...
Kamu: ahhahahha..
Aku: eh, uda jam 10 aja nih, lanjut besok njeh, aku takut kesiangan kalo tidur terlalu larut,
Kamu: ok

Baca:
ADK part 3

Belajar dari yang tampak sederhana


Beberapa kali aku membaca kisah mengharukan di facebook penuh makna pembelajaran hidup dari orang-orang (maaf) sederhana. Di antaranya adalah tentang Bapak Tua Penjual Amplop (baca di sini)  dan tentang Bapak Tukang Sampah (baca di sini), mereka terus bekerja, mereka tak mau meminta-minta (mengemis).

Aku selalu merasa terharu dan kadang sampai menitikkan air mata. Perih membacanya. Setiap kali membacanya, aku berjanji pada diri aku tak akan pernah membiarkan orang tuaku mengalaminya. Dan semoga nggak akan pernah terjadi.

Dan ternyata, cerita mengharukan yang aku baca akhirnya aku temui di depan mataku. Mungkin lebih dari 2kali, tapi dulu aku belum menyadarinya saja. Untuk saat ini aku menyimpan 2 sosok mengagumkan dalam otakku.

Yang pertama, aku temui saat aku liburan ke Pulau Panjang. Di Pulau itu, atas kehendak Allah aku bertemu dengan seorang bapak penjual es lilin. Maaf, tadinya aku kira bapak itu pengemis. Aku benar-benar menyesal atas prasangka pertama melihat bapak itu.

Bapak Penjual Es Lilin di Pulau Panjang-Jepara
Bapak itu menyapa sopan saat aku dan temanku berjalan menyusuri hutan pulau. Aku menjawabnya dengan sambil lalu. Setelah beberapa langkah melewatinya, baru aku tersadar, bapak itu menawarkan es lilin, aku pun mundur dan menghampiri beliau. Aku putuskan untuk membeli es lilin bapak itu.

Dan yang kedua, aku temui di kotaku sendiri. Di hari libur kerja (Ahad), aku pernah jalan-jalan sendiri ke pusat kota, alun-alun kota. Aku benar-benar sendiri. Selesai makan batagor, aku berjalan menuju tempat parkir dan atas kehendak Allah mataku tertuju pada sosok bapak tua penjual balon. Bapak itu tampak sudah sangat renta. Aku teringat pada kakek ku yang sudah meninggal saat melihat beliau.

bapak penjual balon di alun-alun kotaku
MasyaALLAH, sungguh kedua sosok yang aku temui ini sangat mulia dibanding anak muda saat ini. Tak jarang aku melihat pemuda yang jauh lebih kuat secara fisik justru memilih menjadi pengamen, yang sejatinya sama saja dengan meminta-minta. Padahal Rasulullah telah menyampaikan, “Sungguh seseorang dari kalian mengambil talinya lalu membawa seikat kayu bakar di atas punggungnya, kemudian ia menjualnya sehingga dengannya Allah menjaga wajahnya (kehormatannya), itu lebih baik baginya daripada ia meminta-minta kepada orang lain, mereka memberinya atau tidak memberinya” (Shahih Bukhari no.1471, 2075)

Semoga Allah melapangkan rezeki untuk orang-orang seperti 2 sosok yang pernah aku temui itu, aamiin
Pesanku untuk teman-teman, bantu orang-orang seperti itu dengan membeli dagangan mereka, :)

Selasa, 23 April 2013

Aku Menulis


Pagi ini, tiba-tiba aku terkenang pesan dari seorang teman, emm..kalo dibilang pesan sepertinya kurang tepat, saran mungkin tepatnya.  Teman tersebut pernah menyampaikan sarannya via sms ke aku (dan pada teman dekat ku juga ternyata) untuk duet menulis, karena menurutnya aku cukup puitis.

Puitis?
Ah, rasanya aneh, bukannya aku tak mensyukuri atau mau menyangkal anugerah (boleh kan skill puitis aku bilang sebagai anugerah?), anehnya, teman yang bilang aku puitis ini pernah ‘kepanasan’ karena kritikanku.

Sudah banyak yang tau, dan memang bukan rahasia lagi, aku dianugerahi skill kritis (tidak ada yang keberatan kan kalo aku bilang sikap kritis itu termasuk skill ?). Siapa saja dan apa saja bisa aku kritik, kalo dalam penilaianku ada yang kurang tepat, apalagi kalo aku diminta mengkritik. Jangan memintaku untuk memberi kritikan kalo belum benar-benar siap dengan kritikan.

Bukan niatan untuk menyombongkan diri (karena memang tak layak untuk dijadikan media untuk menyombongkan diri). Semasa SMA, saat pelajaran Bahasa Indonesia, kelasku pernah mendapat tugas untuk membuat essay yang isinya kritikan untuk apa saja. Mayoritas siswa membuat kritikan untuk pemerintah NKRI. Aku dengan ide sederhanaku, hanya menulis essay dengan lingkup kecil saja. SMAku yang aku kritik. Aku merasa ada yang kurang tepat dengan tatanan kedisiplinan yang diterapkan sekolah. Eh, tanpa kuduga, tulisanku ini sangat menarik perhatian guru Bahasa Indonesia-ku. Sangat aktual menurut beliau. Tepat sasaran, essay-ku dijadikan bahan rapat dewan guru. *senyum*

Kembali pada soal menulis. Aku menyadari, dan aku bersyukur Allah memberi anugerah aku kemampuan menulis. Meski kadang (dan memang lebih seringnya) aku berusaha ‘membunuh’ anugerah ini. Selain nafsu malas yang sering aku menangkan, ada hal lain yang sering aku jadikan alasan untuk tidak menulis lagi.

Dulu, sebenaranya, aku pernah bercita-cita menjadi seorang penulis. Penulis profesional. Penulis yang bisa menghasilkan pendapatan. Aku ingin menjadi seperti para penulis FLP, HTR, Asma Nadia, Pipiet Senja, dll. Menulis novel cinta layaknya Habibburrahman El Shirazy. Atau seenggaknya menulis seringan para penulis novel teenlit.

Cerpen pertamaku berjudul “Fajar Hari Ini”, cerpen dengan bantuan diketikkan teman (waktu itu aku belum punya PC), yang aku tulis benar-benar original dengan ideku, bercerita tentang pengalaman seorang gadis untuk mulai berhijab (cerita dalam cerpen benar-benar fiksi, tapi kebanyakan yang baca mengira itu pengalaman pribadiku). Cerpen itu berhasil menjadi Juara II pada event lomba menulis cerpen. Meski hanya tingkat sekolah, tapi dari kemenangan itu lah yang membuat aku berani  bermimpi untuk menjadi penulis, karena dari situlah aku baru menyadari aku punya bakat menulis fiksi (tak sedikit pujian dan sanjungan yang datang waktu itu, dan berhasil memompa rasa percaya diriku).
Akan tetapi, karena suatu hal (yang tak ingin aku ingat). Aku memutuskan untuk mengubur cita-cita itu. Tak hanya aktivitas menulis yang aku hentikan. Bahkan, membaca pun aku hentikan. Tak lagi pernah aku sentuh novel-novel. Karena bagiku, membaca akan menumbuhkan tunas untuk menulis (percayalah, seorang penulis juga butuh membaca tak hanya menulis saja).

Dan sekarang,aku membaca novel dan aku menulis (lagi) ^^
Tapi, aku tak lagi bermimpi ‘menjual’ karyaku. Aku tak berminat mengikuti event-event menulis. Aku hanya ingin menulis. Menulis saja.
Tak peduli ada yang membaca atau tidak.

Hanya berharap semoga tulisanku bermanfaat.


Senin, 22 April 2013

When Approached #7

To: anin.dieta@live.com
Subjet:



Aih, dari GM pindah ke rekan kerjaku lain y? Staf accounting di kantor pusat (jakarta) kemaren PHP-in aku, bener-bener PHP ini. Aku kan bantu bikin file untuk program 2013nya, karena dia nggak bisa. Masa’ di whatsapp dia message gini, “Uda bisa Anne,makasih y, aduh, kalo deket aja kamu saya traktir deh.”. Arrrggghhhh..kami kan AKAP (Antar kota Antar Provinsi) -_________-

Ahhhaha..tumben kamu gampang nyerah?
Padahal aku uda nyiapin banyak amunisi, hhehe. Aku bukannya mau berlebihan ya Anin, tapi rasanya semesta pun sepakat, yang namanya perasaan sulit untuk diatur. Kamu sudah baca novel Tere Liye “Daun yang jatuh tak pernah membenci angin” kan? Sangat rumit sayang, meski kadang sudah jelas, sejelas bulan purnama di malam yang gelap, tetap saja penyelesaiannya masih rumit.

Aku tau. Aku sadar. Tapi, tetap tenang An. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri, aku tak mau terus begini. Meski hati aku (mungkin) saat ini dan entah sampai kapan akan terus menggemakan nama Ardhian, suatu saat nanti jika memang keadaannya masih menggantung seperti ini, aku akan beranjak, layaknya daun yang jatuh, aku akan berusaha menerima takdir, aku akan membuka hatiku untuk orang lain, aku akan membangun cinta, bukan jatuh cinta (lagi).

Ahhaaha, kritikanku, semena-mena y? :D
Ok2, insyaAllah dengan senang hati aku akan stalking (lagi) demi kamu, pekerjaan yang aku senangi, mengintai orang, padahal ada hadist yang melarang ya? Eh, tapi ini kan demi calon suami y, jadi halal.

Owh, iya jadi inget, kemaren Ahad, aku habis kondangan ke tempat temen SMA. Dan kamu tau? Saat mereka penjajakan, aku juga yang diminta menilai si cowok. Aku jadi berasa punya profesi baru ini. Padahal aku sendiri belum nikah -___-

Soal perjodohan yang itu. Kamu lupa? Aku kan pernah nangis-nangis waktu itu. Gila! Waktu itu aku sedang pusing dengan skripsi, eh..malah ada balada perjodohan segala.
OK lah, flash back sejenak.
Sejak pertama si pembawa sang calon datang ke rumah (adeknya eyang buyutku) dan bertanya apakah aku sudah punya pacar atau calon, aku langsung lemes, aku rasanya sudah bisa menebak arah pembicaraan.
Waktu itu rasanya aku pengen bilang, “Sudah!”, tapi aku juga tak mau berbohong. Kenyataannya emang aku belum pernah pacaran. Demi menghormati beliau dan menjaga kehormatan keluargaku, aku pasrah, aku meng-iyakan. Ketika di rumah, aku benar-benar pasrah. Aku terima saja foto si calon yang diberikan. Lumayanlah secara fisik.
Akan tetapi, saat di semarang, aku berpikir dan hasilnya menangis. Hey, katanya pria itu bilang, “Saya mencari istri yang sholehah, agar saya merasa aman dan nyaman ketika kerja di luar negeri, karena istri saya pasti akan tetap di rumah dengan tenang.”.

Hati kecilku berontak mendengarnya, “Hey, saya tak hanya butuh status! Saya butuh seorang imam!”, aku nggak mau, aku dinikahi lalu dibawa pergi ke rumahnya di Makassar (jauh dari keluarga) dan lantas suamiku pergi ke luar negeri untuk kerja. Waktu itu keluargaku seolah-olah udah benar-benar setuju. Dan sudah mempersiapkan semuanya. Aku tak mungkin menolak. Yah, alhmadulillah akhirnya perjodohan itu gagal, meski sampai detik ini pun aku tak tau alasan gagalnya. Keluargaku tak mau memberitahuku. Tapi, aku sangat bersyukur.

Kenapa aku sangat membenci perjodohan yang pertama itu?
Karena aku menganggap perjodohan itu adalah pintu gerbang deritaku perihal jodoh. Sejak saat itulah aku mulai mendapat tekanan dari keluarga perihal jodoh. Kamu tau kan, sudah berapa kali keluargaku mencoba menjodohkan aku. Dan entah, setiap calon yang ditawarkan keluarga selalu hati aku menolak. Aku selalu merasa mereka tak cocok dengan aku. Dan yang paling utama mengenai kemapanan agama mereka. Kamu taulah, aku keras kepala untuk yang satu ini (eh, atau jangan-jangan aku memang keras kepala untuk semua hal ya?). Aku sulit menemukan sosok orang yang benar-benar bisa aku percaya terkait manhaj agama, aku takut mereka mengkhianatiku.
Yah, dan mau tak mau aku kembali membandingkannya dengan Ardhian. Sampai detik ini, hanya Ardhian lah yang bisa aku handalkan. Dia begitu sempurna untuk sosok imam yang aku harapkan. Agamanya mapan, dan dia sudah tau banyak tentang aku, dan yang terpenting aku suka cara dia memperlakukan aku.


Baca:

Rabu, 17 April 2013

When Approached #5


To: anin.dieta@live.com
Subjet: 


Santay lah, soal balesnya. Kamu kaya’ baru kenal aku aja seh?

Aku kalo curhat, nggak selalu ngarepin jawaban atau komentar. Yang penting didengar dan dibaca. Itu cukup buat aku. Tapi terlalu juga sih, kalo kamu nggak bales, hhehe


Ah, jangan bahas GM-ku lagi ah, malesi, dia aja yang sensi, setelah aku cek di kartu absen, aku dateng selalu sebelum jam 8 kok, tapi emang mepet-mepet jam 8: 7.54, 7.56, 7.58. Beliau aja yang takut kesaing ama aku. Eh, astaghfirulloh!


Menasehati orang yang sedang jatuh cinta???
Ahhaha, geli rasanya aku bacanya.

Hey, dulu, waktu kamu nasehatin aku, aku belum jatuh cinta sayang.
Aku yakin kamu tau itu.
Aku juga yakin, kamu juga tau apa yang dia lakukan ke aku. Perhatiannya. Hmm..salah kah aku jika lantas aku pun luluh??
Salah kah aku jika akhirnya benih harapan itu muncul??
Aku wanita, Anindita.
Kamu juga wanita kan? Wanita mana yang tak akan luluh jika diberi perhatian sedemikian rupa?
Bahkan dan bahkan, kamu pun mengakui kan kalo dia tak jelek, yah..meski aku yakin kamu juga tau, aku tak mudah terpesona ama cowok hanya karena rupa. Dosen pujaan hatimu saja sempat aku benci #eh, kok sampai sini


owh, iya hampir lupa dengan berita fantastismu, kamu yakin mau An?

Kamu beneran nggak dipaksa?

Dalam ingatanku, masih melekat perjodohanku saat semester 5, perjodohanku dengan pria mapan yang kerja di Singapore, ahhh..aku benci ingat itu. Semoga kamu tak pernah mengalami apa yang aku rasakan ya say.


kamu dapat salam balik dari keluarga
eh, kamu nakal juga y? mengingatkan aku pada seseorang yang pernah sering nitip salam buat keluarga, ah..tapi yasudahlah!


Baca:

Senin, 15 April 2013

When Approached #3


To: anin.dieta@live.com
Subjet: Re: lagi-lagi Ardhian?

Siapa Ardhian?
Ardhian Aruma Wicaksana, itu nama lengkapnya, mahasiswa Fakultas Hukum di kampus kita, angkatan 2007 yang lulus dengan IPK summa cumlaude. Hhehe, garing ya?

Ah, iya. Sudah 2 tahun ya ternyata, rasanya baru kemaren ya? Baru kemaren kamu mengingatkanku agar berhati-hati saat berkomunikasi intens dengannya. Kamu mengkhawatirkan hatiku yang mungkin saja bisa terbuai dengan gombalan-gombalannya, dan dengan diplomatisnya aku jawab: “tenang say, aku tak akan tergoda dengan rayuannya, ini hanya main-main saja.”

Dan sekarang, aku kalah. Seorang Anne Kusuma Anggarini telah kalah telak. Bahkan, rasanya dinding di ruang hatiku telah penuh dengan nama Ardhian Aruma Wicaksana. Sialnya, aku tak mampu menghapusnya untuk saat ini.

Uia, tadi pagi aku kena teguran GM-ku An, karena aku sering dateng telat. Parah. Ini bukan aku banget. Aku selalu berusaha on-time. Sepertinya ini gara-gara aku terlalu sering memikirkan Ardhian. Aku jadi sering banyak melamun. Tak sadar sudah jam berapa. Berangkat kerja asal-asalan.

Dan soal sikap Ardhian di FB dan twitter, aku juga sadar kok. Tapi, ya seperti katamu. Aku tak tau alasannya. Cuma dia kan yang tau.
Kamu tau? Bahkan dia pernah marah-marah ke aku saat aku nge-tag foto tentang kami. Sepertinya dia memang tidak mau temen-temen tau kedekatan kami. Dan justru ini yang membuat aku semakin bingung dan tersiksa. Aku nggak pernah tau apa yang ada di pikirannya. Dia menganggap hubungan kami itu seperti apa? Kalo pacaran, jelas dia tak mau. Tapi kalo hanya sekedar teman biasa? Aneh rasanya, kenapa dia nggak mau orang lain tau??? T_T


Baca:

Minggu, 14 April 2013

When Approached #1


Subjet: absurd

Hey, selamat bertemu lagi
Aku sudah lama menghindarimu
Sialku lah kau ada di sini
 *Gue nyayi, tapi dari hati ini, hhehe

Arrrggggghhhhhh, aku mulai gila sepertinya ini An. Akhir-akhir ini Ardian rajin banget nge-tweet. Dan aku nggak tahan buat nggak stalking, sesekali nge-reply juga tweet-nya. Dan yang pasti, rasaku ini semakin menjadi dan aku hanya bisa diam saja di sini, berdoa semoga Allah memberi jalan jika memang kami berjodoh.

Kok rasanya, aku jadi seperti Kugy di Perahu Kertas ya?
Aku berteman dan saling curhat, merasa dekat. Tapi tak mampu mengungkap, dan hanya bisa melihatnya dari jauh. Dan aku kadang merasa Ardian memang seperti Keenan. Mengerti aku, memahami aku, tapi yah..layaknya cerita yang dibuat oleh Dee.
Aku nggak bisa nerusin. Aku pengen nangis, aku cuma bisa menikmati semua khayalan gila ini.

Jangan bosen simak curhatanku ini ya An? Sesuai judul email ini, isinya pun absurd.


Baca:

When Approached #2

Selasa, 09 April 2013

lukaku karena menulis

Hari ini aku menulis, aku menulis tangan
uda lumayan lama aku nggak menulis tangan, yah..karena sekarang jaman uda berubah
apalagi sejak jaman kuliah, aku udah terbiasa mengetik, bukan lagi menulis di atas kertas
dan hari ini, pekerjaanku ada bagian menulis di atas kertas, subhanalloh, tanganku kaku ini,
dan yang pasti, aku jadi ingat: tanganku mudah terluka
tak banyak yang tau akan hal ini, termasuk teman-teman dekatku, aku pun hampir melupakannya

ketika menulis tangan yang cukup banyak, aku membutuhkan solasi atau plester
buat apa coba? hhehe
hey..aku butuh untuk melapisi kulit bagian luar dari jari kelingking tangan kananku, tangan kanan yang aku gunakan untuk menulis
satu hal yang aku sendiri masih sering belum mengerti,
gesekan yang timbul dari pergerakan tanganku untuk menulis pada kertas, ternyata menyakiti kulitku
aneh
memang aneh, tapi ya inilah jariku..

jariku ini ternyata mirip dengan hatiku,
ketika aku terlalu sering 'bergesekan' dengan seseorang, tanpa aku minta dan harapkan, luka pun bisa tertinggal
'gesekan-gesekan' ini tanpa kuminta telah meninggalkan asa, asa yang tak pernah mampu kujabarkan dalam kata yang jelas dan tegas, hanya mampu meninggalkan bekas

Selasa, 02 April 2013

Maaf, sepertinya aku harus beranjak

Move on, kata orang-orang. Aku harus move on. Why? tanyaku. Kita tak pernah terikat. Aku dan kamu bebas. Dan aku yakin, kamu sepakat dengan ku saat ini. Kita tak pernah ada ikatan.

Baiklah, sejenak mari kita urai sedikit tentang masa yang telah terlewat.
Kita tertakdiri menempati masa dan tempat yang sama untuk beberapa lama. Atas nama takdir (kehendak Allah) pula, kita berpisah raga. Dan kembali atas nama takdir juga, kita bersama dalam dimensi yang berbeda. Kita, aku dan kamu saling bercerita. Rindu. Khawatir. Semua ada pada diriku untuk mu dan (tampaknya) begitu pun untuk ku pada diri mu.

Dan kembali lagi atas nama takdir, aku (sepertinya) memiliki sebuah 'tanda' untuk mu.
Aku merasakan sakit saat aku tak rela dengan sikap mu atau aku sedang mengkhawatirkanmu.
Sudah kusampaikan jelas perihal ini padamu. Terima kasih untuk setiap jawabanmu untuk kekhawatiranku. Maaf, jika aku tak membuatmu nyaman dengan segala pertanyaanku. Aku sudah sering menahan diri. Tapi aku selalu kalah.
Saat aku merasa tak ingin membuatmu jengah dengan segala pertanyaanku, aku memilih untuk bercerita. Tentang apa saja, tanpa kamu minta.

Kamu diam. Aku tak akan memaksa.
Bagiku, duduk diam bersamamu (saja) telah membuatku bahagia.

Akan tetapi, waktu tanpa kita minta, dia tetap berdetak.
Maaf, sepertinya aku harus beranjak.
Tentang kita, jika memang Allah menakdirkan aku untuk mu, aku pasti akan kembali bersamamu kelak.
Namun, jika ternyata kamu bukan takdirku, biarlah waktu menghapus semua jejak..