Ciiiiiiiiiit!
Kaki Calista menginjak rem dengan sekuat tenaga. Ia menyadari telah menabrak seseorang dengan penuh kegugupan ia pun segera turun dari mobilnya. Tepat di depan mobilnya telah tersungkur seorang kakek tua.
“Astaghfirullah, maaf Kek. Kakek tidak apa-apa?”, ujar Calista menyadari akibat kecerobohannya menyetir sambil melamun, ia pun berusaha menolong kakek itu untuk berdiri.
“Iya, Nak. Tak apa. Mungkin Kakek yang kurang hati-hati menyeberang”, jawab kakek itu sambil tersenyum. Senyum dan sikap tenang si Kakek justru membuat Calista semakin bersalah.
“Kakek, Kakek mau ke mana? Saya antar ya?”
“Kakek mau mengantar makanan ini. Tak perlu, Nak. Kakek tidak apa-apa, kok. Nanti malah merepotkan.”
“Ayolah, Kek. Anggap saja ini cara saya menebus kesalahan saya.”
“Mmm, baiklah. Mari. Kakek mau ke Panti Jompo di depan sana.”
“Baik, Kek.”
Calista pun menuntun si kakek duduk di mobilnya lalu ia segera menginjak gas kemudinya menuju Panti Jompo yang di sebutkan si kakek. Tak lama mereka pun tiba di Panti Jompo. Kakek menawarkan Calista untuk ikut masuk. Dengan senang hati Calista pun menerima tawaran tersebut, meski ia juga belum tau Kakek mau menemui siapa.
Di depan sebuah kamar langkah Kakek berhenti, langkah Calista pun ikut terhenti. Kakek tersenyum ke arah Calista, lalu segera mengetuk pintu kamar tersebut. Tak lama keluarlah seorang perempuan tua, hampir seumuran dengan si Kakek.
“Siapa?”, tanya nenek itu ke arah kami dengan raut muka tak senang menyambut kedatangan kami.
“Aku suamimu.”, jawab Kakek sambil tersenyum mengejutkan Calista dan membuatnya terdiam dan terpaku melihat si kakek dan nenek.
“Suamiku? Ah, aku tidak mengenalmu.”
“Benar. Aku suamimu, ini aku bawakan makanan kesukaanmu.”
Si nenek menerima rantang berisi makanan yang dibawakan Kakek dengan masih memasang muka tidak senang akan kehadiran Kakek.
“Mari kita duduk-duduk dan ngobrol sebentar?”, ajak Kakek sambil mencoba menggandeng tangan Nenek.
“Jangan pegang-pegang aku! Aku tidak mau! Aku tak mengenalmu!”, tolak si nenek sambil menepis tangan Kakek lalu masuk ke kamarnya dan menutup pintunya rapat.
“Istriku, ini aku suamimu.”, ucap Kakek dengan wajah tenang berusaha menjelaskan.
“Sana pergi! Aku tak mengenalmu.”, jawab Nenek dari kamar.
“Ya sudah. Besok aku datang lagi. Kamu jaga diri ya.”, jawab Kakek mengalah.
Kakek menoleh ke arah Calista lalu mengajaknya keluar dari Panti. Calista yang masih tidak percaya dengan kejadian yang baru saja terjadi di depan matanya hanya diam saja, dan mengikuti langkah si kakek. Calista berjalan sambil menggigit ujung kuku ibu jari tangannya. Ia masih sangat tidak percaya dengan apa yang baru ia lihat, ia mengamati wajah si kakek, tidak ada sedikit pun semburat wajah kecewa, Kakek masih saja tenang dan menyimpulkan senyum di bibirnya.
Karena tak ingin terus hanyut dalam kebingungannya, Calista pun memberanikan diri untuk bertanya pada Kakek, “Kek, tadi beneran istri Kakek? Kenapa beliau tidak mengenal Kakek?”. “Iya benar, Nak. Dia istri Kakek sejak 40 tahun yang lalu. Dia mengalami pikun berat, sehingga ia lupa banyak hal. Termasuk Kakek.”, jawab Kakek tetap tenang dan tegar tanpa menyiratkan muka kecewa atau sedih sedikit pun. Calista kembali terdiam, rasa kagum akan ketegaran Kakek mulai berpendar dalam hati.
“Saya lihat Kakek masih sangat menyayangi Nenek, meski Nenek tak mengingat Kakek.. ”
“Iya, Nak. Kakek sangat menyayanginya. Apa pun keadaannya sekarang. Rasa cinta dan sayang Kakek masih sama seperti 40 tahun yang lalu.”
“Sampai kapan Kakek akan menyayangi dan terus memperhatikan Nenek?”
“Sampai nafas terakhir Kakek.”
“Tapi, Nenek kan sudah tidak mengingat Kakek, kenapa Kakek masih mau terus menyayanginya?”
“Karena Kakek masih mengingatnya.”
Calista kembali terdiam dan kali ini ia merasa benar-benar kehilangan kata-kata. Rasa kagum yang telah berpendar semakin bertambah. Seorang kakek tua yang dikenalnya secara tidak sengaja telah mengajarkan tentang sesuatu yang sangat berharga, tentang ketulusan cinta yang begitu mengagumkannya. Tak perlu banyak alasan untuk terus mencintai dan menyayangi seseorang, cukup dengan alasan karena masih mengingatnya, cinta dan sayang mampu dipersembahkan dengan penuh ketulusan tanpa sedikit pun mengharapkan balasan.
*menceritakan kembali