Selasa, 05 Maret 2013

aku dan kamu, ceritaku (ADK part 2)


2 tahun lalu, aku pernah merasa sangat takut kehilangan. Perpisahan suatu hal yang sangat tidak aku sukai, terutama perpisahan dengan orang-orang tersayang. Akan tetapi, 2 tahun lalu justru aku merasa sangat takut kehilangan seseorang yang selama ini tidak aku sukai dan aku hindari. Bisa dibilang aku membenci seseorang itu, mungkin. Meski aku sudah mencoba mengingkari semua ketakutanku, tetap saja rasa itu bertahan dalam dadaku.

Aku tak mampu membaca apa rasa yang kurasakan. Setelah mendengar ceritaku, kamu bisa mendeskripsikan apa yang terjadi, mungkin.

Sesaat perpisahan itu benar-benar terjadi. Aku seperti kehilangan sesuatu. Ada kerinduan melihatnya. Ada kerinduan pada keberadaannya. Hatiku tak rela dia pergi meninggalkan aku. Aku berpikir, seandainya bisa kuputar waktu, akan ku putar kembali saat kita bersama-sama, dan aku akan mengedit perasaanku, akan aku delete perasaan tidak suka ku dan akan aku copypaste-kan perasaan lain untuk nya. Karena entah mengapa juga, tiba-tiba perasaan menyesal mendalam datang menyesakkan dada atas perasaanku selama ini kepada seseorang itu.

Maaf, kata maaf kusampaikan pada seseorang itu untuk menebus semua rasa sesalku. Dan takdir seolah-olah memberi kesempatan pada kami untuk mengganti hari-hari yang telah terlewati dengan cerita kehangatan meski jarak mewujud dalam nyata. Dan entahlah, aku membiarkan begitu saja ketika kunci gerbang hatiku dibukanya, bahkan ketika pintuku dibuka aku juga membiarkannya. Aku menikmati setiap khayalan indah tentang masa depan bersamanya. Nyaman. Senyum. Bahagia. Aku menemukan semuanya.

Aku menyukai setiap perhatian kecilnya. Aku menyukai caranya mengkhawatirkanku. Aku menyukai caranya memperbaikiku. Aku menyukai setiap ceritanya, dan aku juga menemukan kenyamanan bercerita dengannya. Aku menyukai senyum mahalnya. Entah mengapa, aku bisa menyukai semua yang ada padanya. Bahkan yang aneh, aku sakit saat amarah mengekang hatiku untuk marah padanya. Aku tak suka melihat dia dekat dengan wanita lain, sekali pun hanya sebatas canda saling menghina, karena aku tak mau dia memikirkan wanita lain.

Kami pernah bertemu di suatu tempat. Berdua saja. Tak lama. Hanya sekejap.  Akan tetapi, begitu membekas dalam dada. Waktu itu tak banyak yang kami bicarakan. Senyum dan tatapan matanya yang  kutangkap. Aku melihat mata dan senyumnya di bawah temaram cahaya lampu seadanya. Senyum yang tak pernah aku terima selama kami bersama. Hanya pada malam itu aku terima senyumnya. Senyum yang hanya aku yang bisa melihatnya. Dari senyum itulah, aku menyadari betapa dahsyatnya mata.

source: https://ac-firdausa.blogspot.com
Aku tahu. Aku sadar. Aku salah. Atau mungkin tepatnya, kami salah. Akan tetapi, aku tak bisa menghentikan ini semua. Hatiku yang berdosa ini menginginkannya. Aku menikmatinya. Menikmati setiap kebersamaan dengannya. Aku harus selalu berusaha membunuh semua dengan menebas setiap tunas yang bertumbuh. Tapi ternyata aku gagal. Aku kalah.

Tunas itu tetap saja tumbuh. Bahkan telah bertumbuh tinggi, berdaun dan berbunga. Saat musim kering, di mana pohon ini kekurangan air untuk bertumbuh, ia lemah dan bahkan menggugurkan daun dan bunga yang ada, lemah dan layu. Dan saat air mengguyurnya, meresap melalui akarnya, daun-daun dan bunga pun kembali tumbuh. Rindang kembali. Begitu seterusnya sampai saat ini. Aku tak pernah tahu, apa yang akan terjadi nantinya. Akankah bunga ini dipetik atau akan dibiarkan melayu. Ditinggalkan begitu saja. Diam. Sendiri. Mungkin mati.



*bersambung



Kota Tembakau, 6 Maret 2013, 09:45



Baca: