2 tahun lalu, aku pernah
merasa sangat takut kehilangan. Perpisahan suatu hal yang sangat tidak aku
sukai, terutama perpisahan dengan orang-orang tersayang. Akan tetapi, 2 tahun
lalu justru aku merasa sangat takut kehilangan seseorang yang selama ini tidak
aku sukai dan aku hindari. Bisa dibilang aku membenci seseorang itu, mungkin.
Meski aku sudah mencoba mengingkari semua ketakutanku, tetap saja rasa itu
bertahan dalam dadaku.
Aku tak mampu membaca apa
rasa yang kurasakan. Setelah mendengar ceritaku, kamu bisa mendeskripsikan apa
yang terjadi, mungkin.
Sesaat perpisahan itu
benar-benar terjadi. Aku seperti kehilangan sesuatu. Ada kerinduan melihatnya.
Ada kerinduan pada keberadaannya. Hatiku tak rela dia pergi meninggalkan aku.
Aku berpikir, seandainya bisa kuputar waktu, akan ku putar kembali saat kita
bersama-sama, dan aku akan mengedit perasaanku, akan aku delete perasaan tidak suka ku dan akan aku copypaste-kan perasaan lain untuk nya. Karena entah mengapa juga,
tiba-tiba perasaan menyesal mendalam datang menyesakkan dada atas perasaanku
selama ini kepada seseorang itu.
Maaf, kata maaf kusampaikan
pada seseorang itu untuk menebus semua rasa sesalku. Dan takdir seolah-olah
memberi kesempatan pada kami untuk mengganti hari-hari yang telah terlewati dengan
cerita kehangatan meski jarak mewujud dalam nyata. Dan entahlah, aku membiarkan
begitu saja ketika kunci gerbang hatiku dibukanya, bahkan ketika pintuku dibuka
aku juga membiarkannya. Aku menikmati setiap khayalan indah tentang masa depan
bersamanya. Nyaman. Senyum. Bahagia. Aku menemukan semuanya.
Aku menyukai setiap
perhatian kecilnya. Aku menyukai caranya mengkhawatirkanku. Aku menyukai
caranya memperbaikiku. Aku menyukai setiap ceritanya, dan aku juga menemukan
kenyamanan bercerita dengannya. Aku menyukai senyum mahalnya. Entah mengapa,
aku bisa menyukai semua yang ada padanya. Bahkan yang aneh, aku sakit saat
amarah mengekang hatiku untuk marah padanya. Aku tak suka melihat dia dekat
dengan wanita lain, sekali pun hanya sebatas canda saling menghina, karena aku
tak mau dia memikirkan wanita lain.
Kami pernah bertemu di
suatu tempat. Berdua saja. Tak lama. Hanya sekejap. Akan tetapi, begitu membekas dalam dada.
Waktu itu tak banyak yang kami bicarakan. Senyum dan tatapan matanya yang kutangkap. Aku melihat mata dan senyumnya di
bawah temaram cahaya lampu seadanya. Senyum yang tak pernah aku terima selama
kami bersama. Hanya pada malam itu aku terima senyumnya. Senyum yang hanya aku
yang bisa melihatnya. Dari senyum itulah, aku menyadari betapa dahsyatnya mata.
source: https://ac-firdausa.blogspot.com |
Tunas itu
tetap saja tumbuh. Bahkan telah bertumbuh tinggi, berdaun dan berbunga. Saat
musim kering, di mana pohon ini kekurangan air untuk bertumbuh, ia lemah dan
bahkan menggugurkan daun dan bunga yang ada, lemah dan layu. Dan saat air
mengguyurnya, meresap melalui akarnya, daun-daun dan bunga pun kembali tumbuh. Rindang
kembali. Begitu seterusnya sampai saat ini. Aku tak pernah tahu, apa yang akan
terjadi nantinya. Akankah bunga ini dipetik atau akan dibiarkan melayu. Ditinggalkan
begitu saja. Diam. Sendiri. Mungkin mati.
*bersambung