“Tunas itu.. eh, pohon itu maksudku. Pohon itu masih hidupkah hingga
saat ini?”, tanyamu pelan dengan menatapku lekat-lekat, muka ku memerah
menyadari kamu menatapku demikian. Aku memilih cepat-cepat mengalihkan
pandanganku, menghindari tatapan mata mu. Tanganku mengambil botol minum dan
segera menyesap airnya.
“Lintang, masih hidupkah pohon itu? Atau telah layu karena lama tak
mendapatkan air?”, kembali kamu mendesakku agar segera menjawab
pertanyaanmu. Aku kembali menikmati minumanku. Pandanganku jauh ke tengah
lapangan alun-alun ini. Melihat kesibukan para pengunjung. Aku sedikit mencuri
pandang ke arahmu. Posisimu sudah berubah, pandangan matamu juga telah berubah,
tak lagi menatap ke arahku. Kamu ikut memandang jauh. Sepertinya kamu sudah
menyerah dengan pertanyaan mu. Jadi, aku biarkan saja senyap sementara. Aku dan
kamu diam sementara.
“Aku masih menyimpan kertas coretan mu beberapa tahun lalu.”, kamu
kembali membuka percakapan. Aku hanya tersenyum mendengarnya tanpa mau menoleh
ke arah mu. Aku ingat, dulu aku pernah memberi sebuah coretan yang berisikan
tentang sedikit unek-unek ku kepadamu. Dulu aku membuatnya spontanitas saja,
jadi tak banyak pula yang kutulis untuk mu. Kamu memang pernah mengatakan akan
menyimpan kertas itu, dan aku menyarankan untuk membuangnya saja, aku takut
kelak seseorang yang mendampingimu akan cemburu jika melihat kertas itu.
Padahal, dalam hatiku berkata, “Simpanlah..simpanlah
kertas itu, kelak jika kita ditakdirkan bersama, tunjukkan kertas itu kepadaku
saat aku telah halal untuk mu. Pasti aku akan sangat bahagia melihatnya kelak,
karena aku merasa sangat berarti untuk mu.”
“25 Juni besok usiaku 23 tahun, genap 1 tahun kontrak kerjaku, aku harus
memenuhi janjiku pada keluarga. Doakan agar Allah segera mengabulkan doaku ya? Aku berdoa,
semoga aku bisa menikah dengan orang yang aku cintai dan mencintaiku sepenuh
hati.”, ujarku kepadamu. Kamu kembali menatap ke arahku. Sepertinya kamu
tidak mengira aku akan menyampaikan hal itu. Aku kembali tersenyum melihatmu.
Lalu kamu kembali mengalihkan pandangan. Menatap jauh. Air mukamu datar tanpa
ekspresi. Ini yang aku benci, aku tak bisa membaca apa yang kamu pikirkan.
Kamu masih diam. Aku
melanjutkan menyampaikan keinginan hatiku. Sesuai doa yang telah aku titipkan
kepadamu dan doa yang selalu kuminta dalam setiap sujudku, aku ingin menikah
dengan seseorang yang aku cintai dan mencintaiku. Menikah dengan pilihan
hatiku. Kamu menatapku penuh ragu saat mendengarkan pemaparanku. Aku kembali
tersenyum. Aku yakin dengan janji Allah. Allah akan mengabulkan doa hambaNya
yang mau meminta. Dan aku yakin, jodoh itu di tangan Allah, bukan di tangan
manusia yang lain. Tak ada manusia yang bisa memaksakan jodoh untuk ku. Makanya
aku terus berdoa pada Allah. Biarlah Allah saja yang mengatur semuanya untuk
ku. Biar Allah saja yang mempertemukan aku dengan jodohku. Cukup Allah saja.
gambar hasil googling, dengan sedikit editan |
Kamu hanya diam mendengar
semua penuturanku. Lagi-lagi tanpa ekspresi. Sepertinya kamu masih ragu, tak apa.
Biarlah Allah yang memberi petunjuk. Biar Allah yang menunjukkan takdir-Nya
untuk ku, takdir yang telah lama tertulis di kitab Lauh Mahfudz. Aku titipkan segala rasaku ini pada-Nya. Aku yakin,
Allah-lah sebaik-baik perencana.
“Pohon itu masih hidup. Masih berdaun dan berbunga sampai detik ini.”,
ujarku kembali untuk memecahkan kediaman mu. Tapi kali ini aku berbicara datar
tanpa ekpresi dengan pandangan jauh ke depan dan tentunya tanpa mencuri pandang
ke arahmu. Aku tak peduli kamu masih butuh ataukah tidak jawabanku atas pertanyaanmu.
*bersambung