Minggu, 14 Oktober 2012

ketulusan di mataku


Motor!
Yeah, akhirnya, aku uda bisa kemana2 sendiri bawa motor
Terhitung 5 Juli 2012 aku uda punya SIM, jadi uda jadi dokumen resmi aku bisa pake motor, mandiri sekarang saia :D
*TELAT BANGED INI PENGUMUMAN*
Tapi, tenang pemirsaaaah,
Aku nggak berniat bercerita soal motor kok, yah meski aku awali dengan motor dulu
Aku mau mencabut kata2ku yang ini,
“Aku nggak mau belajar pake motor lagi. Aku bercita2 kelak kemana2 diantar suami”
*teruntuk suamiku, tenang suamiku, aku nggak bakal ke mana2 tanpa ridhomu ;) (kelak)

Sip, sekarang ke masalah pokok yang ingin aku bagi, sebenarnya pikiran nakal ini uda berdesak2kan cukup lama di otakku ini. Namun, karena keterbatasan waktu dan nafsu malas memenangkannya, jadi tertunda cukup lama.

Begini, pikiran ini muncul dari kejadian kecelakaan yang menimpaku.
Awal Agustus aku pernah kecelakaan motor waktu berangkat kerja. Kejadiaannya di traffic light depan BRI Kranggan. Waktu itu, posisi aku lagi mau mendahului bis, eh..bukan mendahului sih tepatnya, aku cuma berniat memposisikan aku dan motorku agak di depan selama menunggu lampu merah, biar bias jejer2 ama pengendara motor lain.

Tapi na’as, dari belakang sebelah kananku tiba2 lewat sebuah truck berwarna kuning dengan kecepatan yang cukup tinggi melewatiku, karena jarak truck dengan motorku terlalu dekat, kecelakaan pun tak dapat terhindar. Bak truck dengan suksesnya menggesek rem tangan motor dan spion. Motorku pun oleng dan ambruk. Kejadian begitu cepat. Aku nggak bisa menghindar. Dan yang aku sadari, motorku uda roboh di tengah jalan.

Astaghfirullahal adzim”, kalimat itu yang langsung terucap dari mulutku.
Aku cukup linglung. Yang aku ingat, aku nggak sampai terjatuh. Hanya motorku saja yang terjatuh. Aku menoleh ke belakang, banyak kendaraan di belakangku berhenti. Alhamdulillah, aku tidak tertabrak pengendara lain.

Tak lama, ada beberapa orang yang sama sekali tak kukenal menolongku. Motorku dibawa ke pinggiran jalan. Aku pun mengikuti mereka yang menolongku. Aku ggak sadar apa yang orang2 bicarakan, aku hanya mengikuti langkah mereka. Sesampainya di trotoar, aku memeriksa motorku. Aku khawatir terjadi apa2. Lalu salah satu dari orang yang menolong bilang, “Motornya nggak papa Mbak, Mbak apanya yang sakit? Ada yang lecet? Kalo masi deg2an duduk aja..”
“Saya nggak papa, Pak. Beneran nggak papa ya Pak motornya? Saya mau kerja..”
“Iya, nggak papa Mbak. Mbak kerja di mana? Beneran nggak ada yang luka?”
“Di Wana Awet Mas, Pak. Iya. Saya nggak papa. Cuma syok.”
Terus entahlah, orang2 bicara apalagi. Aku nggak focus dengan pembicaraan mereka. Yang aku pikirkan hanya motorku. Tak lama, salah satu dari mereka bilang. “Mari Mbak kalo mau melanjutkan perjalanan lagi. Saya ikuti dari belakang. Takut Mbaknya masi syok. Kebetulan saya searah. Saya kerja di Pringsurat.”
“Owh, iya”

Lalu orang tersebut menuntun motorku ke jalanan, aku mengikutinya dengan jalan kaki. Setelah kami sampai di kiri jalan kea rah tempat kerjaku, motor itu diserahkan ke aku, aku pun menerimanya lalu memposisikan diri untuk mengendarainya. Tak lama lampu pun hijau. Aku menarik gas, dan berjalan ke arah tempat kerjaku, aku melihat dari kaca spion ada seorang pengendara yang membuntutiku, ah..ternyata orang itu benar2 mengikuti di belakangku utuk memastikan aku selamat.

Sesampainya di depan gerbang pabrik tempat kerjaku yang kebetulan berada di kanan jalan, aku membelokkan motorku, lalu berthenti sebentar menoleh ke arah orang asing yang telah menolongku. “Matursuwun, Pak” ucapku. Orang itu menjawab dengan klackson. Tak lama ia pun berlalu. Dan aku pun menarik gas lagi supaya sampai di depan kantor.

Sesampai kantor, aku masih syok. Aku tidak langsung masuk ke ruanganku melainkan masuk ke ruangan kasir. Di sana aku duduk lemas lalu menceritakan apa yang barusan menimpaku pada rekan kerjaku yang sudah kuanggap seperti orang tuaku karena kebtulan usianya jauh di atasku, kecelakaan tersenggol truck dan termasuk orang yang menolong aku.

Nah, dari hasil ceritaku ini pada rekan kerjaku, aku cukup kaget menerima tanggapan mereka,
Yah, mesti banyak yang nolong Mbak. Yang jatuh cewek sih. Masih muda dan lumayan cantik, coba kalo yang jatuh cowok, beda cerita mesti, hhehe
Yang nolong masih muda nggak, Dek? Naksir mungkin..hhaha
Sontak, aku mengernyitkan dahi. Heran. Kok, mereka malah mbahas yang nggak2, jauh dari perkiraanku. Kirain mereka mau mengeluarkan tanggapan yang isinya simpati atau apalah..

Iya, sih.. Alhamdulillah, secara fisik aku nggak luka. Tapi kenapa malah gitu tanggapannya???
Yang aku tangkap, jadi kesannya meragukan ketulusan orang yang nolong kita. Beberapa waktu aku cukup terbebani dengan pikiran itu, apa iya kalo yang kecelakaan bergender cowok bakal dikit yang nolongin?
Tapi, yasudalah, orang berhak hidup dengan pikiran masing2. Aku berkeyakinan, justru pertolongan dari orang2 asing itu yang teramat sangat tulus, karena mereka benar2 tanpa pamrih, mereka yang menolong aku sama sekali tak mengenalku.

Dan aku ditolong orang2 asing di jalan bukan sekali itu saja. Pernah, karena keteledoranku, aku lupa menaikkan standar motorku, bisa celaka kalo aku mengendarai motor dengan standar masi menjulai ke bawah. Di tengah jalan, tiba2 ada pengendara lain yang mengingatkanku. Pernah juga, waktu aku bonceng kakakku, rok ku yang kebetulan berbahan jatuh, berkelebatan di dekat jeruji roda motor, saat itu juga ada pengendara lain yang mengingatkan.

Memang sih, kebetulan hampir semua yang menolongku di jalanan bergender LELAKI. Tapi, toh sejauh ini, belum pernah ada yang lantas minta kenalan atau yang lainnya. Mereka hanya menolong dan mengingatkanku. Sebuah ketulusan dari orang 2 asing yang saya rasakan.