Rabu, 21 November 2012

Maksiat dengan berdalih birrul waalidain


Belum lama ini, aku agak tersentak melihat foto pernikahan seorang temanku hasil upload di FB. Bukan karena kaget tau temenku uda nikah. Akan tetapi, aku cukup kaget melihat kostum yang dikenakan. Temanku (cewek) memakai kostum  adat jawa, tepatnya ‘basahan’ . Kostum yang berupa kemben ini, hanya mampu membalut tubuh temanku sebatas dada ke bawah. Bagian dada atas, bahu dan lengannya terbuka. Dan jelas, kepalanya dihias layaknya adat jawa, jadi dia tidak berjilbab. Astaghfirullah, semoga ini bukan ghibah. Semoga ini bisa menjadi pelajaran untuk muslimah lainnya.



Temanku ini, muslimah berjilbab. Dia sudah mulai rapi berjilbab setiap keluar rumah sudah hampir 2tahun yang lalu, tepatnya saat dia mulai dekat dengan aku. Begitu yang aku lihat selama dia bersamaku. Wallahua’lam selama aku tak bersamanya. Berdasarkan pengakuan temanku ketika aku mencoba tabayyun, dia memakai kostum tersebut karena terpaksa. Ibunya yang memintanya memakai kostum tersebut. Jadi dengan dalih birrul waalidain temanku ini memamerkan auratnya di acara walimahannya.

Dalam keadaan otak masih penuh ketidakpercayaan dengan apa yang aku lihat, aku menggerakkan mouse  yang kugenggam. Masih di dunia per-FB-an, aku menjelajahi foto2 teman2 FB-ku, masyaAllah, aku kembali menemukan foto temanku yang lain tanpa jilbab, keadaannya hampir sama, dalam acara pernikahan, tapi kali ini bukan acara walimahan temanku, mungkin di acara keluarganya, dan anehnya aku menemukan pengakuan si pemilik foto pada fotonya yang tanpa jilbab, “Berat bgt bwt melepaskan jilbab utk acr ini, Maaf karena sya terpaksa n harus melakukan karena sebuah tuntutan.

Bbbbeeeuuuuuuuhhhhhhhh
what the fuck ?!
Kembali kata2 T.E.R.P.A.K.S.A  jadi dalih mereka untuk melepas jilbab, hanya untuk sebuah acara.
Tau apa yang ada di pikiranku?
Kalo terpaksa ngejalaninnya, kenapa mesti pake’ di-upload ke FB tu foto tanpa jilbabnya ???!  Pengen semua orang tau kalo kamu dipaksa buka jilbab atau apa ???!“

Astaghfirullah, aku wajib khusnudzon! Maaf teman. Mungkin kalian juga terpaksa upload tu foto ke FB y?
Tapi taukah kalian sista? Dengan demikian, kalian telah melakukan kesalahan double. Pertama, kalian uda dengan rela membuka aurat saat acara dengan disaksikan orang2 yang hadir di acara. Kedua, kalian telah memamerkan hasil kesalahan pertama kalian di dunia maya, dengan demikian kalian sama saja telah membuka aurat kalian kembali !!!

Huft, tapi mungkin kalian (terutama yang buka aurat di acara walimahannya) berpikir, aku rela melakukannya karena ini untuk walimah, yang terjadi hanya sekali dalam seumur hidup. Mmm..yah, terserah kalian lah, dosa ditanggung sendiri. Kalo kalian tau pernikahan yang selama ini aku rencanakan, mungkin kalian malah akan bilang aneh. Aku ingin nikah tanpa pake jasa penata rias dan tanpa panggung. Alasannya? Karena aku nggak mau jadi tontonan. Ah, kenapa aku jadi curcol? Kembali ke topik yang sebenarnya aku ingin bahas yuk, yakni tentang dalih mereka rela membuka aurat untuk birrul waalidain.

Birrul waalidain atau berbakti kepada orangtua merupakan amal kebajikan yang sangat besar nilainya di mata Allah swt.. Karenanya, dalam beberapa ayat Al-Qur`an, perintah untuk berbakti kepada orangtua disandingkan dengan perintah untuk menyembah Allah, seperti pada firman-Nya: “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia, dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.” (QS. Al-Israa` [17]: 23).

Bila kita perhatikan, perintah untuk berbakti kepada orangtua dalam ayat tersebut bersifat umum. Belum ada batasan-batasan tertentu. Tetapi kemudian pengertian yang terkandung dalam ayat ini ditakhshish (dipersempit) dengan firman Allah pada ayat lain: “Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orangtuanya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya.” (QS. Al-‘Ankabuut [28]: 8)

Dari ayat kedua ini, dapat difahami bahwa tidak semua perintah orangtua harus dituruti. Bila orangtua menyuruh kita untuk keluar dari agama Islam atau untuk melakukan kemusyrikan, maka kita wajib menolaknya. Inilah yang pernah dilakukan oleh Sa’ad bin Abi Waqash kepada ibunya. Diriwayatkan dari Sa’ad bin Abi Waqash ra., bahwa dia berkata: “Aku adalah seorang laki-laki yang berbakti kepada ibuku. Ketika aku masuk Islam, ibu berkata: ‘Agama apa yang kamu peluk itu, wahai Sa’ad? Kamu harus meninggalkan agamamu itu, atau aku tidak akan makan dan minum sampai aku mati, sehingga kamu akan dicemooh (oleh orang-orang) karena kematianku, dan akan dikatakan kepadamu: ‘Wahai Sang Pembunuh ibunya.’ Aku menjawab: ‘Ibu, janganlah engkau melakukan itu, karena aku tidak akan pernah meninggalkan agamaku ini karena alasan apapun.’ Setelah melihat sang ibu mogok makan selama satu hari satu malam, Sa’ad berkata: ‘Wahai ibuku, demi Allah, ketahuilah bahwa seandainya engkau memiliki seratus nyawa, kemudian nyawa-nyawa itu keluar dari dirimu satu persatu, maka aku tidak akan pernah meninggalkan agamaku ini.’” Melihat kesungguhan Sa’ad, sang ibu pun akhirnya menghentikan aksi mogok makannya itu.

Selain itu, pengertian firman Allah dalam QS. Al-Israa` (17): 23 juga ditakhshish (dipersempit) oleh Hadits Nabi saw. yang berbunyi: “Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam hal kemaksiatan kepada Allah.” Secara tegas, Hadits ini menjelaskan bahwa seorang Muslim dilarang untuk menaati perintah siapapun -termasuk orangtua- yang mengandung unsur kemaksiatan kepada Allah, Sang Khaliq. Yang dimaksud dengan “maksiat” (kemaksiatan) adalah perbuatan mendurhakai atau tidak mematuhi perintah Allah (dan Rasul-Nya), atau melanggar aturan Allah. 

Nah, bagaimana dengan membuka aurat demi bakti kepada orang tua???
Mari kita lihat salah satu dalil yang berisi perintah menutup aurat,
Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin; “Hendaklah mereka menjulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”.. (QS. Al-Ahzab: 59)

Jadi, perintah berjilbab ini adalah suatu ketetapan yang tidak bisa ditawar-tawar atau ditolak dengan dalih apa pun, karena Allah yang kita sembahlah yang telah mewajibkannya. Perintah ini merupakan syariat bagi muslimah, jilbab merupakan bentuk riil perwujudan dari syahadat kita.

So, kita nggak bisa dengan dalih untuk birrul waalidain lalu melanggar perintah untuk tetap berjilbab ini. Jika kita melaksanakannya itu bukan birrul waalidain seperti yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya, tapi ketaatan yang mengandung unsur kemaksiatan kepada Allah.
Aku jadi khawatir, pernikahan yang begitu agung, bahkan akadnya pun mampu mengguncang arsy’, tapi karena dalam pengadaannya terdapat perbuatan kemaksiatan, justru akan menjadi penyebab celaka bagi mempelai bukan keberkahan yang diperolehnya seperti yang diharapkan. Sungguh, aku berlepas diri dari apa yang mereka lakukan.
Wallohua’lam