Belum
lama ini, aku agak tersentak melihat foto pernikahan seorang temanku hasil
upload di FB. Bukan karena kaget tau temenku uda nikah. Akan tetapi, aku cukup
kaget melihat kostum yang dikenakan. Temanku (cewek) memakai kostum adat jawa, tepatnya ‘basahan’ . Kostum yang berupa kemben ini, hanya mampu membalut
tubuh temanku sebatas dada ke bawah. Bagian dada atas, bahu dan lengannya
terbuka. Dan jelas, kepalanya dihias layaknya adat jawa, jadi dia tidak
berjilbab. Astaghfirullah, semoga ini
bukan ghibah. Semoga ini bisa menjadi
pelajaran untuk muslimah lainnya.
Temanku
ini, muslimah berjilbab. Dia sudah mulai rapi berjilbab setiap keluar rumah sudah
hampir 2tahun yang lalu, tepatnya saat dia mulai dekat dengan aku. Begitu yang
aku lihat selama dia bersamaku. Wallahua’lam
selama aku tak bersamanya. Berdasarkan pengakuan temanku ketika aku mencoba
tabayyun, dia memakai kostum tersebut
karena terpaksa. Ibunya yang memintanya memakai kostum tersebut. Jadi dengan
dalih birrul waalidain temanku ini
memamerkan auratnya di acara walimahannya.
Dalam
keadaan otak masih penuh ketidakpercayaan dengan apa yang aku lihat, aku
menggerakkan mouse yang kugenggam. Masih di dunia per-FB-an, aku
menjelajahi foto2 teman2 FB-ku, masyaAllah,
aku kembali menemukan foto temanku yang lain tanpa jilbab, keadaannya hampir
sama, dalam acara pernikahan, tapi kali ini bukan acara walimahan temanku,
mungkin di acara keluarganya, dan anehnya aku menemukan pengakuan si pemilik
foto pada fotonya yang tanpa jilbab, “Berat
bgt bwt melepaskan jilbab utk acr ini, Maaf karena sya terpaksa n harus
melakukan karena sebuah tuntutan.”
Bbbbeeeuuuuuuuhhhhhhhh
what the
fuck ?!
Kembali
kata2 T.E.R.P.A.K.S.A jadi dalih mereka
untuk melepas jilbab, hanya untuk sebuah acara.
Tau
apa yang ada di pikiranku?
“Kalo terpaksa ngejalaninnya, kenapa mesti pake’
di-upload ke FB tu foto tanpa jilbabnya ???! Pengen
semua orang tau kalo kamu dipaksa buka jilbab atau apa ???!“
Astaghfirullah,
aku wajib khusnudzon! Maaf teman. Mungkin kalian juga terpaksa upload tu foto
ke FB y?
Tapi
taukah kalian sista? Dengan demikian, kalian telah melakukan kesalahan double.
Pertama, kalian uda dengan rela membuka aurat saat acara dengan disaksikan
orang2 yang hadir di acara. Kedua, kalian telah memamerkan hasil kesalahan
pertama kalian di dunia maya, dengan demikian kalian sama saja telah membuka
aurat kalian kembali !!!
Huft,
tapi mungkin kalian (terutama yang buka aurat di acara walimahannya) berpikir,
aku rela melakukannya karena ini untuk walimah, yang terjadi hanya sekali dalam
seumur hidup. Mmm..yah, terserah kalian lah, dosa ditanggung sendiri. Kalo
kalian tau pernikahan yang selama ini aku rencanakan, mungkin kalian malah akan
bilang aneh. Aku ingin nikah tanpa pake jasa penata rias dan tanpa panggung.
Alasannya? Karena aku nggak mau jadi tontonan. Ah, kenapa aku jadi curcol? Kembali
ke topik yang sebenarnya aku ingin bahas yuk, yakni tentang dalih mereka rela
membuka aurat untuk birrul waalidain.
Birrul waalidain atau berbakti kepada orangtua merupakan amal kebajikan yang sangat
besar nilainya di mata Allah swt.. Karenanya, dalam beberapa ayat Al-Qur`an,
perintah untuk berbakti kepada orangtua disandingkan dengan perintah untuk
menyembah Allah, seperti pada firman-Nya: “Dan Tuhanmu telah memerintahkan
supaya kamu jangan menyembah selain Dia, dan hendaklah kamu berbuat baik kepada
ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.” (QS. Al-Israa` [17]: 23).
Bila kita perhatikan, perintah untuk
berbakti kepada orangtua dalam ayat tersebut bersifat umum. Belum ada
batasan-batasan tertentu. Tetapi kemudian pengertian yang terkandung dalam ayat
ini ditakhshish (dipersempit) dengan firman Allah pada ayat lain: “Dan Kami
wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orangtuanya. Dan jika keduanya
memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu
tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya.” (QS.
Al-‘Ankabuut [28]: 8)
Dari ayat kedua ini, dapat difahami
bahwa tidak semua perintah orangtua harus dituruti. Bila orangtua menyuruh kita
untuk keluar dari agama Islam atau untuk melakukan kemusyrikan, maka kita wajib
menolaknya. Inilah yang pernah dilakukan oleh Sa’ad bin Abi Waqash kepada
ibunya. Diriwayatkan dari Sa’ad bin Abi Waqash ra., bahwa dia berkata: “Aku
adalah seorang laki-laki yang berbakti kepada ibuku. Ketika aku masuk Islam,
ibu berkata: ‘Agama apa yang kamu peluk itu, wahai Sa’ad? Kamu harus
meninggalkan agamamu itu, atau aku tidak akan makan dan minum sampai aku mati,
sehingga kamu akan dicemooh (oleh orang-orang) karena kematianku, dan akan
dikatakan kepadamu: ‘Wahai Sang Pembunuh ibunya.’ Aku menjawab: ‘Ibu, janganlah
engkau melakukan itu, karena aku tidak akan pernah meninggalkan agamaku ini
karena alasan apapun.’ Setelah melihat sang ibu mogok makan selama satu hari
satu malam, Sa’ad berkata: ‘Wahai ibuku, demi Allah, ketahuilah bahwa
seandainya engkau memiliki seratus nyawa, kemudian nyawa-nyawa itu keluar dari
dirimu satu persatu, maka aku tidak akan pernah meninggalkan agamaku ini.’” Melihat
kesungguhan Sa’ad, sang ibu pun akhirnya menghentikan aksi mogok makannya itu.
Selain itu, pengertian firman Allah
dalam QS. Al-Israa` (17): 23 juga ditakhshish (dipersempit)
oleh Hadits Nabi saw. yang berbunyi: “Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam
hal kemaksiatan kepada Allah.” Secara tegas, Hadits ini menjelaskan bahwa
seorang Muslim dilarang untuk menaati perintah siapapun -termasuk orangtua-
yang mengandung unsur kemaksiatan kepada Allah, Sang Khaliq. Yang dimaksud
dengan “maksiat” (kemaksiatan) adalah perbuatan mendurhakai atau tidak mematuhi
perintah Allah (dan Rasul-Nya), atau melanggar aturan Allah.
Nah, bagaimana dengan membuka aurat demi
bakti kepada orang tua???
Mari kita lihat salah satu dalil yang
berisi perintah menutup aurat,
“Hai
Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri
orang mukmin; “Hendaklah mereka menjulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”..
(QS. Al-Ahzab: 59)
Jadi, perintah berjilbab ini adalah
suatu ketetapan yang tidak bisa ditawar-tawar atau ditolak dengan dalih apa
pun, karena Allah yang kita sembahlah yang telah mewajibkannya. Perintah ini
merupakan syariat bagi muslimah, jilbab merupakan bentuk riil perwujudan dari
syahadat kita.
So, kita nggak bisa dengan dalih untuk birrul waalidain lalu melanggar perintah
untuk tetap berjilbab ini. Jika kita melaksanakannya itu bukan birrul waalidain seperti yang
diperintahkan Allah dan Rasul-Nya, tapi ketaatan yang mengandung unsur kemaksiatan
kepada Allah.
Aku jadi khawatir, pernikahan yang begitu
agung, bahkan akadnya pun mampu mengguncang arsy’,
tapi karena dalam pengadaannya terdapat perbuatan kemaksiatan, justru akan
menjadi penyebab celaka bagi mempelai bukan keberkahan yang diperolehnya seperti
yang diharapkan. Sungguh, aku berlepas diri dari apa yang mereka lakukan.
Wallohua’lam