Rabu, 23 November 2011

Seseorang yang mencintaiku dan kucintai sepenuh hati (1)


A  Y A H

Seseorang yang dari dirinya lah, diri ini berasal
Seseorang yang telah menurunkan darahnya untuk diri ini

                Ayahku, sosok yang tidak banyak bicara. Beliau lebih banyak diam. Namun, aku tahu dalam diamnya, beliau memperhatikan, dalam diamnya beliau memikirkan, dan dalam diamnya aku banyak belajar.

                Ayahku memang bukanlah seorang pegawai atau pejabat yang berpendidikan tinggi, seperti kebanyakan ayah-ayah dari teman-temanku. Ayahku hanyalah seorang tani, ayah menghidupi keluarga dari hasil bercocok tanam. Namun, aku sangat bangga. Kenapa? Karena ayahku merdeka. Ia tidak bekerja di bawah orang. Dan insyaALLAH nafkah yang ia persembahkan dari profesinya untuk keluarga halal, bebas dari riba apalagi dari korupsi.

                Tahun 1957, ayahku terlahir ke dunia ini dan diberi nama Muhkusen oleh kakekku. Beliau berasal dari keluarga tani. Ayahku merupakan anak pertama dari 5 bersaudara dan satu-satunya anak yang berjenis kelamin pria, tapi saat ini tinggal 3 bersaudara, 2 saudarinya meninggal dunia, aku tak pernah mengenal 2 almarhumah secara langsung. Aku hanya mengenal pusara mereka, karena sejak kecil setiap hari Kamis sore atau malam Jumat aku selalu diajak nyekar. Sedangkan 2 bibiku yang masih hidup, ke-2nya telah berkeluarga dan hidup dengan keluarganya, satu tinggal tak jauh dari rumah kami (1 desa) sedangkan satunya lagi merantau di Tangerang.

                Ayah pernah sekolah formal di Sekolah Rakyat (SR), semacam SD untuk saat ini. Selulus dari SR ayah tidak melanjutkan sekolah formalnya. Mungkin karena pengaruh lingkungan pedesaan yang kurang sadar akan pentingnya pendidikan. Ayahku lebih memilih untuk menimba ilmu agama ke Pesantren. Aku kurang tahu, di mana saja ayahku nyantren, karena ternyata ayah bukan tipe orang yang senang di satu tempat saja. Beliau nyantren-nya pindah-pindah, itu pun di daerah yang tidak dekat, satu Pesantren yang aku tahu, beliau pernah nyantren di Pondok Pesantren Tebu Ireng di Jawa Timur. Meski secara derajat pendidikan formal ayahku tidak tinggi, tapi aku tetap bangga. Beliau bisa dibilang sukses, sangat sukses malah, karena beliau mampu dan berhasil menyekolahkan anaknya sampai ke jenjang Perguruan Tinggi. Benarkan? Cara mengukur kesuksesan seseorang itu adalah dengan melihat hasil didikannya, yakni anak-anaknya. Kalau beliau yang hanya lulusan SR saja bisa menyekolahkan anaknya sampai S1, berarti buat orang-orang yang lulusan S1 minimal harus menyekolahkan anaknya sampai jenjang S1, itu baru minimal lho, harusnya lebih tinggi lagi. Logikanya demikian, tapi bisa berubah kaidahnya sesuai keadaan juga.

                Jika dilihat secara kasat mata dalam keseharian, mungkin ayah akan tampak tidak terlalu ikut campur dalam mendidik anak-anaknya. Jadi sangat wajar kalau aku dan kakak-kakak ku lebih dekat dengan ibu. Ayahku selain pendiam juga pemalu, dan menurutku sangat low profile. Tak ada niatan untuk menyombongkan aku dan keluarga. Ayah tidak pernah berbangga diri lalu memamerkan kesuksesannya. Ketika aku bisa masuk di sekolah favorit untuk jenjang SMP dan SMA, hal itu sebenarnya merupakan suatu prestise yang sangat bisa dijadikan alasan untuk berbangga diri karena disekitar rumah kami hanya anaknya lah yang mampu. Namun bagaimana sikap ayahku? beliau belum pernah sekali pun menginjakkan kakinya di almamaterku.

                    Dan hal yang sangat membuatku kagum dan bersyukur adalah ayahku (menurutku dan semoga benar) sangat rajin beribadah. Setiap waktu shalat beliau selalu berjamaah ke masjid, waktu shubuh pun hawa dingin yang menyeruak di daerah kami tak menjadi penghalang beliau untuk ke masjid, Subhanallah..


Terimakasih Ayah, I Love you so much.. :)