Pagi ini, tiba-tiba aku
terkenang pesan dari seorang teman, emm..kalo dibilang pesan sepertinya kurang
tepat, saran mungkin tepatnya. Teman
tersebut pernah menyampaikan sarannya via sms ke aku (dan pada teman dekat ku
juga ternyata) untuk duet menulis, karena menurutnya aku cukup puitis.
Puitis?
Ah, rasanya aneh, bukannya
aku tak mensyukuri atau mau menyangkal anugerah (boleh kan skill puitis aku
bilang sebagai anugerah?), anehnya, teman yang bilang aku puitis ini pernah ‘kepanasan’
karena kritikanku.
Sudah banyak yang tau, dan
memang bukan rahasia lagi, aku dianugerahi skill kritis (tidak ada yang
keberatan kan kalo aku bilang sikap kritis itu termasuk skill ?). Siapa saja
dan apa saja bisa aku kritik, kalo dalam penilaianku ada yang kurang tepat,
apalagi kalo aku diminta mengkritik. Jangan memintaku untuk memberi kritikan
kalo belum benar-benar siap dengan kritikan.
Bukan niatan untuk
menyombongkan diri (karena memang tak layak untuk dijadikan media untuk menyombongkan
diri). Semasa SMA, saat pelajaran Bahasa Indonesia, kelasku pernah mendapat
tugas untuk membuat essay yang isinya kritikan untuk apa saja. Mayoritas siswa
membuat kritikan untuk pemerintah NKRI. Aku dengan ide sederhanaku, hanya
menulis essay dengan lingkup kecil saja. SMAku yang aku kritik. Aku merasa ada
yang kurang tepat dengan tatanan kedisiplinan yang diterapkan sekolah. Eh,
tanpa kuduga, tulisanku ini sangat menarik perhatian guru Bahasa Indonesia-ku.
Sangat aktual menurut beliau. Tepat sasaran, essay-ku dijadikan bahan rapat
dewan guru. *senyum*
Kembali pada soal menulis.
Aku menyadari, dan aku bersyukur Allah memberi anugerah aku kemampuan menulis.
Meski kadang (dan memang lebih seringnya) aku berusaha ‘membunuh’ anugerah ini.
Selain nafsu malas yang sering aku menangkan, ada hal lain yang sering aku
jadikan alasan untuk tidak menulis lagi.
Dulu, sebenaranya, aku
pernah bercita-cita menjadi seorang penulis. Penulis profesional. Penulis yang
bisa menghasilkan pendapatan. Aku ingin menjadi seperti para penulis FLP, HTR,
Asma Nadia, Pipiet Senja, dll. Menulis novel cinta layaknya Habibburrahman El
Shirazy. Atau seenggaknya menulis seringan para penulis novel teenlit.
Cerpen pertamaku berjudul “Fajar
Hari Ini”, cerpen dengan bantuan diketikkan teman (waktu itu aku belum punya
PC), yang aku tulis benar-benar original dengan ideku, bercerita tentang pengalaman
seorang gadis untuk mulai berhijab (cerita dalam cerpen benar-benar fiksi, tapi
kebanyakan yang baca mengira itu pengalaman pribadiku). Cerpen itu berhasil
menjadi Juara II pada event lomba menulis cerpen. Meski hanya tingkat sekolah,
tapi dari kemenangan itu lah yang membuat aku berani bermimpi untuk menjadi penulis, karena dari
situlah aku baru menyadari aku punya bakat menulis fiksi (tak sedikit pujian
dan sanjungan yang datang waktu itu, dan berhasil memompa rasa percaya diriku).
Akan tetapi, karena suatu
hal (yang tak ingin aku ingat). Aku memutuskan untuk mengubur cita-cita itu.
Tak hanya aktivitas menulis yang aku hentikan. Bahkan, membaca pun aku hentikan.
Tak lagi pernah aku sentuh novel-novel. Karena bagiku, membaca akan menumbuhkan
tunas untuk menulis (percayalah, seorang penulis juga butuh membaca tak hanya
menulis saja).
Dan sekarang,aku membaca
novel dan aku menulis (lagi) ^^
Tapi, aku tak lagi bermimpi ‘menjual’
karyaku. Aku tak berminat mengikuti event-event menulis. Aku hanya ingin
menulis. Menulis saja.
Tak peduli ada yang membaca
atau tidak.
Hanya berharap semoga
tulisanku bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar